Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia (RI) menilai keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kementan) membuka keran impor tak tepat. Pasalnya, impor tersebut dilakukan jelang masuknya masa panen.
Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, pihaknya memahami tujuan Kemendag mengimpor beras khusus untuk menjaga pasokan dan menstabilkan harga.
Advertisement
Baca Juga
"Kami dari Ombudsman, kami menyatakan bisa memahami ada rencana untuk impor, di mana stok tipis. Stok di Bulog hanya 900 ribu ton dan sudah digunakan operasi pasar sekarang," ujar dia di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Namun dia menyayangkan, keputusan impor ini diambil pada masa yang kurang tepat. Pada Maret 2018, petani akan memasuki masa panen raya sehingga beras impor yang masuk dikhawatirkan merusak harga gabah petani.
"Mengabaikan prinsip kehati-hatian, impor dilakukan tapi dilakukan menjelang panen. Biasanya Bulog dari Oktober siap-siap (untuk impor),"Â dia menjelaskan.
Oleh sebab itu, lanjut Alamsyah, kebijakan membuka keran impor beras ini harus disertai dengan kehati-hatian. Sebab jika tidak maka akan impor tersebut justru merugikan para petani lokal.
‎"Hasil pantauan Ombudsman di 31 provinsi 10-12 Januari 2017, stok di masyarakat memang pas-pasan dan tak merata, namun ada dalam situasi menjelang panen. Diperlukan kehati-hatian," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Jangan Sampaikan Data Salah Stok Beras
Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk tidak lagi menyampaikan informasi stok beras yang tidak akurat kepada publik.
Hal ini menyusul terjadinya gejolak harga beras yang terjadi beberapa waktu terakhir ini akibat kelangkaan beras medium.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan, selama ini Kementan selalu menyatakan jika produksi beras suplus dan stok cukup. Pernyataan tersebut hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.
Baca Juga
‎"Kami menyarankan pemerintah menghentikan pembangunan opini-opini surplus yang berlebihan," ujar dia di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Dia menuturkan, gejala kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak akhir tahun, tanpa adanya temuan penimbunan dalam jumlah yang besar. Hal ini mengindikasikan kemungkinan proses mark up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.
Alamsyah menambahkan, akibat penyataan suplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, membuat pengambilan keputusan terkait perberasan berpotensi keliru.
"Ombudsman menyarankan juga (Kementan) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program cetak sawah, LTT (luas tambah tanam), benih subsidi, dan pemberantasan hama oleh Kementan," kata dia.
Â
Advertisement