Sukses

BI Tegaskan Tak Buat Aturan soal Mata Uang Digital

BI menegaskan pihaknya tidak mengatur mengenai keberadaan virtual currency atau mata uang seperti bitcoin.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan pihaknya tidak mengatur mengenai keberadaan virtual currency atau mata uang digital seperti bitcoin. Karena jelas, dalam Undang-Undang (UU) mata uang, pembayaran atau alat tukar yang sah hanyalah rupiah.

Gubernur Bank Indonesia (BI) juga menggaris bawahi dalam melarang penggunaan bitcoin tersebut, pihaknya tidak secara khusus membuat Peraturan Bank Indonesia.

"Jadi kita tidak bikin aturan mengenai virtual currency tapi menegaskan bahwa Undang-Undang khususnya Undang-Undang mata uang mengatakan untuk melakukan pembayaran di Indonesia itu harus rupiah. Dan virtual currency itu dilarang," tegas Agus di Kantor Menko Kemaritiman, Senin (15/1/2018).

Agus menegaskan, bitcoin merupakan satu bentuk alat tukar yang rentan terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme. Selain itu, dengan fluktuasi yang cukup tinggi, hal ini juga menjadi risiko bagi para pemiliknya.

"Masyarakat Indonesia yang besarnya 260 juta lebih ini tidak tahu tentang karakteristik daripada produk atau instrumen itu jadi BI sebelumnya sudah pernah menjelaskan perihal produk itu dan karakteristik dan risikonya," tegas dia.

Penegasan Agus ini sebenarnya bukan menjadi yang pertama kali dilakukan Bank Indonesia (BI). Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan, uang virtual termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.

"Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Selanjutnya: UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

Dalam UU menyebutkan, mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.

Dengan demikian, ditegaskan Agusman, pemilikan mata uang virtual sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga.

Risiko lainnya, yakni nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.

"Oleh karena itu, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency," tegas dia.

Bank Indonesia juga mengingatkan, sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan uang virtual.

Ini sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial