Liputan6.com, Jakarta Sejak masa transisi penggunaan alat tangkap ikan cantrang usai pada 31 Desember 2017, banyak nelayan mengaku kebingungan mencari nafkah. Nelayan pengguna cantrang mengatakan, itu adalah satu-satunya alat yang dapat mereka gunakan untuk menangkap ikan.
Lalu, apa yang mereka kerjakan sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan larangan penggunaan cantrang beserta 20 alat tangkap lainnya?
Rasmudi (35), nelayan cantrang asal Tegal, mengatakan dia terpaksa menepi dulu sejak awal bulan ini karena tidak sanggup membeli gillnet. "Mahal itu, butuh uang Rp 1,5 miliar. Sementara pakai cantrang biayanya Rp 500 juta," tuturnya kepada Liputan6.com pada Rabu (17/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia juga mengungkapkan, dengan adanya cantrang saja pendapatannya masih tidak menentu. "Saya biasa melaut sampai dua bulan, dan kalau nasibnya lagi baik bisa bawa pulang Rp 8 juta-Rp 10 juta," ujar dia.
Hal senada dilontarkan Taulani (45), nelayan cantrang yang juga berasal dari Tegal. "Sejak cantrang dilarang, ya saya tidak bisa apa-apa. Kalau udah biasa kerja di laut, susah cari kerja di darat," tuturnya.
Berbeda dengan Ade (38), nelayan Tegal yang tetap nekat melaut dengan cantrang meski aturan tersebut sudah diberlakukan. "Kita ke laut aja, asal enggak ketangkep. Kalau sampai ketangkep (oleh Angkatan Laut), itu kapalnya bisa ditahan tiga bulan," kata dia.
Sementara itu, Kasmadi (47) asal Lampung mengatakan, dia tetap melaut menggunakan gillnet pemberian pemerintah, meskipun secara hasil tangkapan tidak memadai.
"Kawan saya beberapa persen ada yang alih profesi, tapi tidak menghasilkan. Saya tetap jalan pakai gillnet aja, biar secara hasil dapatan itu kecil, sih," ucap dia.
Larangan Cantrang Berlaku 1 Januari 2018
Advertisement