Liputan6.com, Jakarta - Impor daging tersebut masih dalam proses. Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menjelaskan, impor daging kerbau untuk memenuhi kebutuhan nasional. Dia bilang, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah meminta izin kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait importasi ini.
"Saat ini masih dalam proses Kementerian Perdagangan minta izin ke Kementerian BUMN untuk menugaskan Bulog guna mengimpor daging yang dimaksud," kata dia kepada Liputan6.com di Jakarta, Minggu (21/1/2016).
Advertisement
Baca Juga
Importasi tersebut berdasarkan perhitungan kebutuhan daging kerbau Kementerian Perdagangan. Djarot menjelaskan, kebutuhan daging kerbau nasional sekitar 6.000 hingga 7.000 ton per bulan. Sehingga, setahun membutuhkan sekitar 84.000 ton.
Namun, mengingat ada hari-hari besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru, maka jumlah kebutuhan akan melonjak. Sebab itu, kebutuhannya mencapai 100.000 ribu ton.
"Intinya untuk menjaga pasokan daging kerbau Kementerian Perdagangan menghitung bahwa rata-rata serapan pasar antara 6.000 ton sampai 7.000 ton per bulan maka dalam setahun normal 84.000 ton. Namun mengingat dalam setahun tersebut ada bulan Puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru yang biasanya kebutuhan daging melonjak maka perlu ditambahkan sehingga total setahun menjadi sebesar 100.000 ton," jelasnya.
Terkait hal itu, Djarot mengatakan, Perum Bulog hanya akan melakukan importasi jika semua izin sudah rampung. Pasalnya, setelah izin dari Kementerian BUMN keluar maka dilanjutkan ke Kementerian Pertanian terkait rekomendasi impor. Selanjutnya, diteruskan kembali ke Kementerian Perdagangan untuk izin importasi.
"Kalaupun nanti sudah keluar semua izinnya tentu Bulog hanya akan melaksanakan importasi tersebut secara bertahap sesuai kebutuhan riil yang akan ada," tukas dia.
Tolak Impor
Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menolak rencana pemerintah melalui Perum Bulog untuk mengimpor 100 ribu ton daging kerbau dari India. Pasalnya, kebijakan tersebut lebih membawa kerugian dibandingkan keuntungan.
Ketua Umum DPP PPSKI Teguh Boediyana berpendapat, mahalnya harga daging sapi karena kesalahan pemerintah sebelumnya yang gagal mewujudkan swasembada daging sapi.
"Pertama, akibat kegagalan pemerintah mewujudkan swasembada daging sapi mulai era Pemerintahan Presiden SBY. Program swasembada daging sapi 2010 dan dilanjut program swasembada daging sapi 2014 telah gagal. Implikasinya adalah 50 persen pemenuhan daging sapi (sekitar setara 250 ribu ton) harus diimpor," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Sementara itu, impor harga daging sapi sendiri dipengaruhi oleh nilai tukar dolar terhadap rupiah. "Apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih pada kisaran dibawah Rp 12.000 dipastikan harga daging bisa di bawah Rp 80 ribu per kg," ujar dia.
"Jadi sangatlah tidak adil kegagalan pemerintah sekarang ditimpakan kepada peternak sapi dan kerbau lokal dengan mengimpor daging yang murah," tambah dia.
Di samping itu, dia melanjutkan, kebijakan impor daging ruminansia dari negara atau zona yang belum bebas penyakit mulut dan kuku bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Itu juga berisiko terhadap kesehatan.
"Masih dalam konteks keadilan apabila kebijakan impor daging kerbau dengan alasan harga murah, maka kebijakan tersebut harus diterapkan pula untuk komoditas pertanian lain seperti beras, jagung dan lain-lain yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produksi dalam negeri," ungkapnya.
Sebab itu, DPP PPSKI mengimbau kepada pemerintah untuk meninjau kembali rencana importasi daging kerbau yang menekan peternakan sapi lokal.
"Dipastikan pula bahwa kebijakan impor daging kerbau yang dianggap murah ini sangat kontradiktif dengan target swasembada daging sapi yang dicanangkan akan dicapai di tahun 2024," tutup dia.
Advertisement