Sukses

BI dan Pemerintah Sepakat Tolak Penggunaan Bitcoin

Bank Indonesia (BI) mengingatkan supaya masyarakat tidak menggunakan mata uang virtual (cryptocurrency) termasuk bitcoin.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengingatkan supaya masyarakat tidak menggunakan mata uang virtual (cryptocurrency) termasuk bitcoin. Lantaran mata uang tersebut memiliki sejumlah risiko.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, telah melakukan penilaian terhadap perkembangan mata uang digital tersebut. Dia menuturkan, mata uang digital berisiko karena tidak regulator atau administrator yang mengatur mata uang digital tersebut. BI juga menilai mata uang digital tersebut berisiko dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Oleh karena itu, BI menyampaikan bahwa kita mengingatkan kepada publik untuk tidak melakukan perdagangan, membeli, ataupun menjual bitcoin karena kami tidak ingin bawah nanti masyarakat yang transaksi dengan bitcoin melanggar aturan," ungkap dia di Jakarta, Selasa (23/1/2018).

Agus mengatakan, BI melarang perusahaan yang menyediakan sistem pembayaran melakukan transaksi dengan mata uang digital.

"BI sebagai otoritas moneter sistem pembayaran memberikan larangan kepada semua perusahaan jasa sistem pembayaran yang ada di bawah supervisi di bawah BI untuk melakukan transaksi terkait bitcoin," ungkap dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga mengimbau supaya masyarakat tidak menggunakan mata uang digital sebagai alat pembayaran maupun investasi.

"Dari sisi transaksi pembayaran jelas di UU mata uang Indonesia sangat jelas rupiah," ujar dia.

Sri Mulyani menambahkan, mata uang digital berisiko lantaran tidak memiliki basis penilaian investasi. Lalu, mata uang ini berisiko pada tindak pencucian uang. "Ketiga, ini akan bisa menciptakan bubble," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

PPATK Waspadai Penggunaan Bitcoin untuk Pencucian Uang

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mewaspadai perkembangan bitcoin di Indonesia. Pasalnya, di dunia internasional, muncul dugaan jika mata uang virtual (virtual currency) tersebut digunakan sebagai sarana tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, saat ini pola tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme mulai marak memanfaatkan perkembangan teknologi informasi (IT). Sebab, para pelaku kejahatan tersebut terus mencari pola pengumpulan dana yang sulit untuk dideteksi oleh aparat penegak hukum.

"Pencucian uang itu, seperti halnya kejahatan lain, itu bisa memanfaatkan IT. Dan bisnis yang menggunakan IT apakah itu fintech, dan penggunaan virtual currency itu rawan disusupi itu. ‎Penjahat kan selalu mencari pola-pola, cara-cara. Jadi kalau semakin susah, semakin rumit, dia akan masuk ke situ," ujar dia dalam Pertemuan Tahunan PPATK, di Jakarta, Selasa (16/1/2018).

Dia menyatakan, kini otoritas penegak hukum di berbagai negara mulai menemukan pola-pola pemanfaatan mata uang virtual seperti bitcoin dalam proses tindak pidana pemerasan, terorisme dan lain-lain. ‎

"Contohnya ada yang meminta hasil pemerasan dibayarkan melalui Bitcoin, itu orang susah mendeteksinya. Kemudian kemarin juga ada indikasi terorisme menggunakan itu. Itu Bitcoin juga digunakan. Secara prinsip peluang apa pun yang terbuka, itu pasti akan dipakai," kata dia.

Menurut Dian, meskipun Bank Indonesia (BI) telah secara tegas melarang penggunaan bitcoin di Indonesia, tidak menutup kemungkinan ada tindak kejahatan yang memanfaatkan mata uang virtual tersebut. Oleh sebab itu, PPATK dan aparat penegak hukum akan terus menelusuri hal ini.

‎‎"Bank Indonesia kan sudah tegas jelas tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran. Dan lembaga atau orang yang melaksanakan sistem pembayaran tidak boleh berhubungan dengan Bitcoin. Tetapi kita sebagai otoritas tidak berhenti di situ, kita dirikan desk fintech dan cyber crime," tandas dia.