Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah berupaya untuk merevisi Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) yang sudah dibentuk sejak 1997, melalui UU Nomor 20 Tahun 1997.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR-RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya ingin memperbaiki prinsip penerimaan dan tata kelola yang bukan berasal dari perpajakan tersebut. Hal itu mempertimbangkan aspek keadilan.
"Di dalam revisi ini, kita ingin memperbaiki tata kelola dari perubahan PNBP yang berdasarkan Undang-Undang 1997," ujar dia di hadapan Komisi XI DPR-RI di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
"Dalam RUU baru ini, kita ingin menyampaikan aspek keadilan, terkait tarif tertentu seperti jasa layanan pemerintah yang bisa dinolkan," tambah dia.
Sri Mulyani memaparkan, penerimaan negara non-pajak tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni Sumber Daya Alam, kekayaan negara yang dipisahkan, dan pelayanan negara.
"Sumbernya berasal dari tiga kelompok, yaitu dari Sumber Daya Alam, kekayaan negara yang dipisahkan, dan pelayanan negara yang memberikan harga untuk bisa memberikan service delivery yang baik." jelas dia.
Dia juga menjelaskan fungsi dana yang negara terima dari PNBP. "Pengelolaan dana PNBP sendiri mengikuti penerimaan negara yang lain, yaitu untuk membiayai belanja negara," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Sri Mulyani: Pungut PNBP Sesuai Aturan, Jangan Ada Pungli
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memperingatkan kepada Kementerian dan Lembaga (K/L) yang melakukan pungutan berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) agar sesuai aturan. Pasalnya selama ini banyak K/L yang masih serampangan.
Sri Mulyani menyatakan, beberapa K/L diberikan kewenangan untuk melakukan pungutan dan akan masuk dalam pos PNBP. Namun demikian, kewenangan tersebut tetap dibatasi oleh aturan yang berlaku.
"Negara bisa pungut, tapi pungutan itu dalam rangka untuk melayani, bukan mencari keuntungan. Apalagi ada yang menuduh kita melegalisir pungli, karena tidak seharusnya negara memungut tanpa aturan. Itu sama dengan preman," ujar dia di kantornya, Jakarta, Kamis 30 Desember 2017.
Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lanjut Sri Mulyani, masih ada sejumlah K/L yang melakukan pungutan PNBP tidak sesuai aturan. Pada 2013, BPK menemukan 30 K/L yang ‎memungut PNBP di luar ketentuan. Pada 2014, ada 44 K/L, sebanyak 26 K/L pada 2015 dan 2016 meningkat tajam, yaitu 48 K/L yang memungut PNBP di luar aturan.
"Ini dalam hal penyetoran, dalam hal pungutan kurang atau tidak setor, atau dalam menetapkan pungutan, serta di dalam hal penggunaan PNBP. Ini adalah uang rakyat yang harus dikembalikan dalam bentuk pelayanan," tegas Sri Mulyani.
Menurut dia, adanya temuan BPK ini tidak lepas dari tak sinkronnya aturan yang berlaku saat ini soal PNBP, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tidak sejalannya kedua aturan ini membuka celah bagi oknum tertentu untuk memungut PNBP di luar ketentuan.
"Kami ingin terus memperkuat pengelolaan ini, karena sekarang ini kami sedang membahas dengan DPR," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
"Aturan PNBP ini sudah sejak 1997, berarti sudah berapa puluh tahun lalu. Ya jadi banyak sekali yang berubah, makanya kita tidak heran bahwa di dalam penyelenggaraan negara kita ini BPK telah menemukan praktik PNBP ini menjadi temuan yang cukup signifikan," tandas Sri Mulyani.
Advertisement