Sukses

Pengusaha Sebut Polemik Impor Garam Mirip dengan Beras

Pengusaha berharap akan ada pembenahan terkait data garam di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Terjadi polemik saat pemerintah memutuskan kuota impor garam. Dua instansi pemerintahan, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki perbedaan data kebutuhan impor garam industri.

Sebagai kementerian yang mengawasi produksi, KKP mengeluarkan rekomendasi impor sebesar 2,1 juta ton. Namun, di sisi lain, Kemenperin menyatakan kebutuhan garam industri yang harus diimpor sebesar 3,7 juta ton.

Melihat polemik ini, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mengaku prihatin. Seharusnya sesama instansi pemerintahan memiliki data yang sama.

"Ini persoalannya cuma ketidakcocokan data. Kasus garam ini sama dengan impor beras, di mana beda data antara kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian," kata Ketua AIPGI Tony Tanduk saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (24/1/2018).

Memang selama ini, ada Badan Pusat Statistik (BPS) yang memegang peran penting dalam berbagai data yang menjadi acuan pemerintah.

Akan tetapi, menurut Tony, dalam kasus garam ini, BPS hanya memiliki peran memberikan metode penghitungan produksi. Dengan demikian, data garam nasional masih tergantung dari input data di masing-masing kementerian.

Dia pun berharap, akan ada pembenahan terkait data garam di Indonesia. Bila tak ada langkah lebih lanjut, dikhawatirkan masalah perbedaan data akan terjadi setiap tahun dan berujung memengaruhi rencana bisnis industri sebagai pengonsumsi garam impor tersebut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Dekati Data Kemenperin

Tony Tanduk memaparkan, sebenarnya untuk saat ini, kebutuhan garam industri lebih mendekati perhitungan Kemenperin, yaitu sekitar 3,7 juta ton yang harus diimpor.

Hanya saja, kebutuhan ini belum termasuk peningkatan kebutuhan akibat kenaikan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk di Indonesia dan luar negeri.

"Bisa jadi nanti kebutuhan garam itu berkurang karena ada industri yang macet, tapi bisa juga bertambah, melihat pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Kalaupun lebih, paling itu hanya 200-300 ribu ton," dia memaparikan.

Terkait alasan keran impor garam masih dilakukan pemerintah, Tony mengatakan, ini karena masih belum pastinya stok dan kualitas garam produksi dalam negeri. "Kalau mau penyerapan meningkat, ya beri kami jaminan ketersediaan barang dan kualitasnya juga ditingkatkan," tutup dia.