Sukses

Pengusaha: Pemerintah Rancu antara Garam Industri dan Konsumsi

Kemenperin merilis angka kebutuhan impor garam untuk industri sebanyak 3,7 juta ton per tahun, namun KKP hanya merekomendasikan 2,2 juta.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki data berbeda perihal kebutuhan garam industri. Polemik data ini sempat menimbulkan perdebatan di internal pemerintah sebelum keputusan impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton pada 2018 keluar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, perbedaan maupun kerancuan data kebutuhan garam di internal pemerintah terus menjadi polemik setiap tahun.

Untuk diketahui, Kemenperin merilis angka kebutuhan impor garam untuk industri sebanyak 3,7 juta ton per tahun, namun dari KKP hanya merekomendasikan 2,2 juta ton per tahun.

"Masalah itu (garam) selalu menjadi polemik. Seperti tahun lalu, industri sudah teriak-teriak, ini (garam) tidak cukup stoknya. Tapi KKP bersikukuh garam cukup, jadi di sini ada kerancuan di pemerintah antara perbedaan garam konsumsi masyarakat dan garam industri," jelas Hariyadi saat acara diskusi PAS FM Business Outlook 2018 di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (24/1/2018).

Lebih jauh menurut dia, kriteria garam industri dengan garam konsumsi masyarakat jelas berbeda. Industri membutuhkan konsumsi garam dengan kriteria lebih kering dan diproses lebih sempurna.

"Ini yang selalu jadi polemik, selalu disamakan antara garam industri dan garam konsumsi masyarakat. Produksi petani garam itu untuk garam konsumsi masyarakat, sedangkan konsumsi produsen (industri) beda lagi," Hariyadi menegaskan.

Dia menambahkan, kebutuhan konsumsi garam di kalangan industri lebih mudah terdeteksi ketimbang garam konsumsi masyarakat. Hariyadi menyebut, saat ini pelaku industri mengalami kekurangan garam industri. Namun dia tak menyebutkan angka kebutuhan garam industri pada 2018, termasuk impor.

"Kalau yang menyampaikan data bahwa saat ini industri kekurangan garam, itu datanya benar. Kalau tidak diberikan izin menambah stok di dalam negeri, maka kejadiannya bisa seperti tahun lalu, yang kena dampaknya industri. Jangan sampai Menteri KP bilang cukup stok, tapi faktanya industri kehabisan stok," katanya.

Hariyadi menilai, impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton per tahun di 2018 akan cukup memenuhi kebutuhan industri yang sedang bergeliat meningkatkan produksi.

"Logikanya cukup (3,7 juta ton per tahun). Impor ini kan buat bahan baku, karena produksi dan ekonomi kita sedang bergeliat. Jadi data yang dari industri lebih bisa dipegang karena kebutuhannya sudah jelas, tapi di luar itu (garam konsumsi masyarakat) saya tidak tahu," tukas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Pengamat: Jokowi Impor Beras dan Garam demi Jaga Inflasi

Keputusan impor garam industri, beras khusus, sampai gula mentah pada 2018 dianggap sebagai jalan pintas pemerintah untuk mengendalikan inflasi di tahun politik. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah mematok inflasi sebesar 3,5 persen.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai pemerintah Joko Widodo (Jokowi) mengarahkan laju inflasi ke level rendah di bawah 4 persen. Tahun ini, target inflasi 3,5 persen atau lebih rendah dibanding realisasi 3,61 persen di 2017.

"Keputusan pemerintah impor untuk menjaga inflasi tetap rendah, apalagi menjelang bulan-bulan politik (tahun politik). Kalau (inflasi) naik, ngeri nih," kata Burhanuddin dalam acara diskusi Business Outlook 2018 oleh Pas FM di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (24/1/2018).

Menurut dia, pemerintah membuka keran impor garam, beras, dan komoditas lain dalam rangka mengendalikan harga. Alasannya, Burhanuddin bilang, faktor utama penyumbang inflasi di Indonesia ada di sektor pangan.

"Buat masyarakat yang penting ada barangnya. Mau beli gula, garam, beras, ada barangnya. Jadi harga stabil dan inflasi tetap rendah. Jadi pemerintah mencari landasan yang pas atau menyenangkan buat mereka (masyarakat) demi inflasi rendah," jelas Burhanuddin.

Â