Sukses

Ingin Swasembada Pangan, RI Kucurkan Rp 23 Triliun

Kementan mengalokasikan anggaran untuk program swasembada pangan sebesar Rp 23,8 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) mengalokasikan sebesar Rp 23,8 triliun untuk program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. Sebagian besarnya digunakan untuk peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai. 

Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengungkapkan, anggaran tersebut akan dipakai untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas rempah-rempah.

"Dana sekitar Rp 23 triliun itu digunakan untuk program yang sudah kita laksanakan satu dua tahun ini, yaitu peningkatan produktivitas jagung, padi, kedelai, dan rempah lainnya," ucap dia di kantornya di Jakarta, Senin (29/1/2018).

"Dalam rangka peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kedelai itu, ada rehabilitasi jaringan irigasi. Kemudian ada pengembangan alat mekanisasi," Hari menambahkan. 

Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga diberikan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu dialokasikan untuk benih dan pupuk tanaman perkebunan, seperti rempah-rempah, tanaman semusim, tanaman penyegar, dan tanaman tahunan.

"Dari total anggaran yang kita dapatkan, paling banyak dipakai di sarana prasarana, sekitar Rp 6 triliun. Sama di tanaman pangan untuk mencapai swasembada pangan semisal padi, jagung, dan kedelai," pungkas dia.

Untuk diketahui, Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat.

"Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," jelas dia dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2018).

Hal ini sangat terkait dengan perubahan lainnya yaitu semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian.

Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat. Hal ini berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi. 

Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu, regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani sehingga swasembada pangan, khususnya beras diperkirakan sulit tercapai. 

"Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran,” ungkapnya. 

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Impor Pangan Lemahkan Daya Saing Petani Lokal

Sektor pertanian yang merupakan mayoritas kegiatan perekonomian masyarakat di sebagian besar Pulau Jawa, kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah. Dampaknya, daya beli petani menjadi lemah.

‎Peneliti ReIde Indonesia Riyanda Barmawi ‎menyatakan, padahal peningkatan kesejahteraan petani sangat berkorelasi dengan pertumbuhan sektor perekonomian lain dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, pemberlakuan impor pangan yang dijalankan selama satu dasawarsa disebut melemahkan petani.

"Kendala pembangunan pertanian datang dari kebijakan pemerintah itu sendiri, yaitu impor pangan. Walaupun Indonesia mampu mewujudkan swasembada pangan pada 1984, tetapi pasca itu swasembada tidak terjadi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (22/9/2017).

Dia menyatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, Indonesia masih mengimpor berbagai komoditas. Antara lain, beras, tepung terigu, gula pasir, daging jenis lembu, garam, mentega, minyak goreng, bawang putih, lada, kentang, cabe kering, dan telur ungas.

"Sebagai gambaran, dari 2010-2013, kegiatan impor beras terus tumbuh 482,6 persen. Berikutnya, impor kedelai naik berturut-turut 57 persen. Peningkatan impor bawang merah dan cabai merah masing-masing 99,8 persen dan 141 persen," kata dia.

Menurut dia, rezim perdagangan World Trade Organization (WTO) yang berlaku sekarang ini membuat sebuah negara sulit menerapkan persyaratan ketat terhadap produk impor. Oleh karena itu, pemerintah harus memberlakukan standar sama antara produk pangan impor dan lokal. Jika tidak, negara lain bisa menggugat lewat forum WTO.

Supaya produk pangan lokal dapat terlindungi, lanjut Riyandi, pemerintah dapat memaksimalkan Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) sebagai kepanjangan tangan Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Pusat (OKKPP). Lembaga ini menerbitkan sertifikasi prima yang terdiri dari sertifikasi prima 1, prima 2 dan prima 3. Program ini bersifat sukarela yang berjalan mulai 2009.

"Semestinya, kelompok petani memanfaatkan sertifikasi ini untuk meningkatkan nilai jual produknya. Hingga tahun ini, baru 39 produk pangan dan hortikultura memperoleh sertifikasi," ujar dia.

Ia menambahkan, sertifikasi ini dapat dipakai untuk melindungi hasil pertanian lokal dari produk impor. Caranya, setiap produk pangan dan hortikultura dari negara lain wajib memiliki sertifikat prima untuk diterima pasar domestik.

"Sektor pertanian Indonesia dapat diperkuat, asalkan memperkuat rantai hulu dan hilir. Langkah ini sangat penting guna mewujudkan nilai tambah dan daya saing," kata dia.