Sukses

Aturan Diteken Sri Mulyani, DJP Bisa Intip Data Kartu Kredit

Masih ingat dengan rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengintip data dan informasi kartu kredit nasabah?

Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengintip data dan informasi kartu kredit nasabah? Setelah sempat ditunda dua kali, kini Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati kembali menerbitkan aturan perbankan wajib lapor data kartu kredit tersebut.

Wajib lapor data kartu kredit nasabah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan.

PMK ini diteken Sri Mulyani pada 29 Desember 2017 dan diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana di tanggal yang sama.

"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (29 Desember 2017)," bunyi Pasal 7, seperti dikutip Liputan6.com dari SJDIH Kementerian Keuangan, Jakarta, Minggu (4/2/2018).

PMK 228/2017 menggantikan PMK Nomor 39/PMK/03/2016 tentang Perubahan Kelima atas PMK Nomor 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.

Di Pasal 1 ayat (1), setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak.

Ayat (2) berbunyi, data dan informasi tersebut adalah kumpulan angka, huruf, kata, dan atau citra yag bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan, serta keterangan tertulis yang dapat memberi petunjuk mengenai penghasilan dan kekayaan atau harta orang pribadi atau badan, termasuk kegiatan usaha atau pekerjaan bebas orang pribadi atau badan.

Rincian jenis data dan informasi disampaikan dalam bentuk elektronik, baik secara online maupun secara langsung. Hal ini diatur di Pasal 2. Sedangkan Pasal 3 menjelaskan, jika rincian jenis data dan informasi belum tersedia dalam bentuk elektronik, maka dapat diberikan dalam bentuk non elektronik.

Akan tetapi, data dan informasi yang disampaikan dalam bentuk non-elektronik hanya dapat diberikan sampai batas waktu paling lama dua tahun sejak jadwal penyampaian yang pertama ditentukan.

Setelah lebih dari dua tahun, maka bank atau lembaga penerbit kartu kredit harus memberikan rincian jenis data dan informasi dalam bentuk elektronik. Dalam lampiran PMK 228 disebutkan, bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit wajib menyerahkan atau melaporkan data transaksi kartu kredit nasabah dalam bentuk elektronik kepada Ditjen Pajak.

 

2 dari 3 halaman

Cara penyampaian

Cara penyampaiannya online dan data bersumber dari Billing Statement. Penyampaian data dan informasi kartu kredit nasabah ke Ditjen Pajak pertama kali paling lambat 31 Mei 2016. Jadwal penyampaian dilakukan secara berkala, yaitu bulanan (paling lambat akhir bulan berikutnya).

"PMK 228 itu pengganti PMK 16/2013 jo PMK 39/2016, jadi materi terkait wajib lapor kartu kredit di PMK 228 masih sama dengan PMK 39, termasuk penyampaian pertama kali 31 Mei 2016," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama kepada Liputan6.com.

Menurutnya, data tagihan kartu kredit nasabah yang disampaikan perbankan kepada Ditjen Pajak dapat digunakan untuk melihat kepatuhan seseorang dalam pelaporan penghasilan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

"Sama seperti informasi saldo rekening, data tagihan kartu kredit dapat digunakan untuk melihat profil penghasilan wajib pajak atau dinilai kepatuhannya dalam melaporkan penghasilan di SPT Tahunannya," Hestu Yoga menerangkan.

Namun demikian, diakui Hestu Yoga, Ditjen Pajak akan menetapkan batasan atau threshold tagihan kartu kredit nasabah yang wajib dilaporkan perbankan.

"Sama seperti saldo rekening, data kartu kredit kita berikan threshold yang nantinya supaya lebih tepat sasaran dan tidak membebani perbankan maupun Ditjen Pajak sendiri," paparnya.

3 dari 3 halaman

Daftar 23 Bank Wajib Lapor

Dalam beleid PMK 228, ada 23 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit yang wajib lapor ke Ditjen Pajak, yakni: Pan Indonesia Bank, Ltd.Tbk, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank MNC Internasional, PT Bank ICBC Indonesia, PT Bank Maybank Indonesia Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Adapula PT Bank Mega Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT BNI Syariah, PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank Permata Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, PT Bank Sinarmas, PT Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, The Hongkong & Shanghai Banking Corp (HSBC), PT Bank QNB Indonesia, Citibank N.A, dan PT AEON Credit Services.

Data transaksi nasabah kartu kredit yang wajib diserahkan ke Ditjen Pajak harus memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu.

selain itu, juga harus dicantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)/Nomor paspor pemilik kartu, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, dan pagu kredit.

Seperti diberitakan sebelumnya, PMK Nomor 39/2016 yang memuat wajib lapor data kartu kredit nasabah pernah tertunda dua kali. Pertama karena ada program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berakhir pada Juli 2016-Maret 2017. Sementara kedua kalinya ditunda usai tax amnesty berakhir dengan alasan akan fokus pada pengumpulan data harta dalam rangka implementasi Pasal 18 Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak.