Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sudah menerbitkan aturan wajib lapor data kartu kredit nasabah dengan tagihan minimal Rp 1 miliar setahun bagi perbankan.
Kebijakan tersebut akan semakin menahan belanja masyarakat kalangan menengah atas dan terganggunya bisnis kartu kredit perbankan.
Advertisement
Baca Juga
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengungkapkan, kebijakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengintip data kartu kredit nasabah akan berdampak pada konsumsi masyarakat kalangan menengah atas.
"Kelas menengah atas yang akan kena dampaknya ke konsumsi," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Menurutnya, aturan wajib lapor data kartu kredit nasabah oleh perbankan ke Ditjen Pajak dapat memicu reaksi dari masyarakat kelas menengah atas, seperti penutupan kartu kredit.
Hal ini diungkapkan Bhima pernah terjadi ketika rencana PMK Nomor 39/PMK/03/2016 diterapkan. Namun akhirnya ditunda oleh Ditjen Pajak karena alasan akan fokus pada pengumpulan data harta dalam rangka implementasi Pasal 18 Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak.
PMK 39/2016 mengatur tentang Perubahan Kelima atas PMK Nomor 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.
"Tahun 2016 pernah ada PMK 39. Waktu itu, langsung banyak orang tutup kartu kredit. Memang orang-orang kaya ini sensitif soal pajak," Bhima menjelaskan.
Bukan cuma orang kaya yang terimbas, perbankan dan toko ritel pun diperkirakan Bhima akan kena getahnya.
"Buat toko ritel yang kerja sama dengan kartu kredit bank misalnya, akan menurun omzetnya. Overall, kredit konsumsi di 2018 bisa lebih rendah dari tahun lalu," terangnya.
Bhima menilai, kebijakan wajib lapor data kartu kredit nasabah dilakukan pemerintah demi mengejar target penerimaan pajak 2018 yang dipatok sebesar Rp 1.424 triliun. Target tersebut tumbuh 20 persen dari realisasi setoran pajak Rp 1.147 triliun pada 2017.
"Betul, tujuannya memang ke sana. Mengejar target pajak karena sudah tidak ada lagi tax amnesty," ujarnya.
Namun demikian, dia menyarankan supaya pemerintah melalui Ditjen Pajak hati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan. Jika tidak, akan meresahkan para pengusaha.
"Cuma caranya kalau tidak hati-hati jadi meresahkan pelaku usaha. Yang penting komunikasi antara Dirjen Pajak dan pelaku usaha. Setiap perumusan regulasi pajak, apalagi menyangkut data sensitif harus dilibatkan, jangan tiba-tiba ada aturan (wajib lapor data kartu kredit) pasti pengusaha protes," pungkas Bhima.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Intip Tagihan Kartu Kredit Rp 1 Miliar Setahun
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyatakan terbitnya aturan kewajiban lapor data kartu kredit oleh perbankan untuk menelusuri kepatuhan pembayaran pajak nasabah sebagai Wajib Pajak (WP).
Data kartu kredit yang bakal diintip adalah yang memiliki tagihan belanja minimal Rp 1 miliar dalam setahun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, dari data dan informasi kartu kredit yang disampaikan perbankan maupun penyelenggara kartu kredit, Ditjen Pajak dapat melihat profil penghasilan WP dan mengecek kepatuhannya terkait pelaporan penghasilan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
"Sama seperti informasi saldo rekening, data tagihan kartu kredit dapat digunakan untuk melihat profil penghasilan WP untuk dilihat atau dinilai kepatuhannya dalam melaporkan penghasilan di SPT Tahunannya," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Untuk mempermudah perbankan dan Ditjen Pajak, Hestu Yoga mengatakan, data kartu kredit nasabah yang nantinya dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah untuk total pembelanjaan atau tagihan paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun.
Dia menambahkan, penyampaian data kartu kredit oleh perbankan atau penyelenggara kartu kredit kepada Ditjen Pajak untuk pertama kalinya adalah data kartu kredit untuk tagihan selama 2018 (Januari-Desember).
"Data kartu kredit kami berikan threshold (batasan) supaya lebih tepat sasaran dan tidak membebani perbankan maupun Ditjen Pajak sendiri," tegas Hestu Yoga.
Advertisement