Sukses

Bos Bank Mandiri Waspadai Perang Suku Bunga di 2018

Dirut Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo menyatakan bakal ada perang suku bunga di 2018 yang akan mempengaruhi penyaluran kredit perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Kartika Wirjoatmodjo memperkirakan kinerja penyaluran kredit pada 2018 akan lebih baik jika dibandingkan dengan 2017. Namun demikian, Bank Usaha Milik Negara (BUMN) ini mewaspadai perang suku bunga yang diperkirakan akan terjadi di tahun ini. 

Kartika menambahkan, meski membaik, namun pertumbuhan kredit masih akan terbatas. Bank Mandiri menargetkan penyaluran kredit perseroan akan menyentuh dua digit. 

"Kita optimis akan membaik di 2018 seiring optimisme perbaikan ekonomi. Mungkin kredit kita akan tumbuh double digit sekitar 11-12 persen," kata Kartika di kantornya, Selasa (6/2/2018).

Tahun ini, Bank Mandiri masih mengandalkan segmen korporasi menjadi konsen pengembangan penyaluran kredit. Sementara dari sektornya, infrastruktur seperti pembangkit listrik, pembangunan bandara, jalan tol, menjadi target utama.

Hanya saja, untuk meraih target tersebut, dikatakan Kartika akan sedikit menghadapi tantangan. Salah satunya dari persaingan suku bunga yang akan terjadi di tahun ini.

Tahun 2016 dan 2017, sambungnya, perbankan mulai menurunkan suku bunga dikarenakan imbauan dari berbagai otoritas, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Tapi untuk 2018 ini sebagian besar sudah single digit, banyak korporasi yang bisa mendapatkan bunga 6-7 persen. Jadi 2018 akan ada persaingan suku bunga, ini menjadi salah satu tantangan perusahaan," Kartika menerangkan. 

Melihat kondisi tersebut, Kartika memperkirakan laba perseroan tumbuh di kisaran 10-12 persen pada 2018. Berbeda dengan laba Bank Mandiri 2017 yang mampu tumbuh 49,5 persen menjadi Rp 20,6 triliun.

2 dari 2 halaman

DJP Intip Kartu Kredit Bakal Dongkrak Transaksi Tunai

Asosiasi Kartu Kredit Indonesia menilai, kebijakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengintip data kartu kredit dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pengguna kartu kredit.

Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan kebijakan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran bagi nasabah yang berencana membuka kartu kredit.

"Ya seperti sebelumnya, ketakutan seperti sebelumnya, masyarakat engggan menggunakan lagi kartunya. Dan ini akan berdampak kembali meningkatnya transaksi tunai," tegas Steve kepada Liputan6.com, Jakarta pada 5 Februari 2018. 

Dia menuturkan, saat ini penggunaan kartu kredit setiap tahun meningkat. Ini juga terjadi sering upaya digalakkannya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Per 2017, total jumlah kartu kredit yang beredar mencapai 17 juta kartu.

Sebelumnya, Menteri Keuangan telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan. Di PMK tersebut, mengatur mengenai kewajiban perbankan melaporkan data kartu kredit kepada Direktorat Jendral Pajak (DJP).

Meski aturan tersebut sudah diteken Menteri Keuangan, Steve mengaku pihak asosiasi belum diajak diskusi mengenai implementasi aturan baru tersebut. Namun Asosiasi Kartu Kredit Indonesia akan berdiskusi dengan pihak DJP mengenai hal itu pada Senin sore ini.

Steve mengaku, apabila aturan tersebut memiliki batasan yang akan diserahkan ke DJP adalah transaksi kartu kredit minimal Rp 1 miliar per tahun, pihaknya cukup mengapresiasinya.

"Kalau memang ada traseholdnya Rp 1 miliar itu lebih bagus, artinya tidak semua transaksi dilaporkan, jadi masyarakat tidak perlu khawatir," ujar dia.

Hanya saja, dirinya berharap kepada pemerintah untuk bisa mengkomunikasikan mengenai teknis aturan tersebut secara menyeluruh. Dengan demikian tidak menimbulkan kesimpang siuran informasi di masyarakat, yang ujungnya mempengaruhi bisnis perbankan.