Sukses

Hadapi Kendala, Pengembang Siap Bangun 250 Ribu Rumah Subsidi

REI optimistis membangun 250 ribu unit rumah subsidi di 2018 meski menghadapi berbagai kendala.

Liputan6.com, Jakarta - Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menargetkan pembangunan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sekitar 236 ribu hingga 250 ribu unit pada 2018. Jumlah ini meningkat dibanding realisasi tahun lalu yang terbangun 206.290 unit rumah subsidi atau melampui target 200 ribu unit. 

Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata memperkirakan realisasi pembangunan rumah subsidi akan meningkat sepanjang tahun ini. Oleh karenanya, target ditingkatkan menjadi 236.261 unit berdasarkan masukan dari daerah.

"Kalau menurut kesanggupan daerah tahun ini targetnya 236.261 unit. Tapi saya maunya digenjot lebih kencang, kalau bisa sampai 250 ribu unit," kata Eman begitu panggilan akrabnya kepada Liputan6.com seperti ditulis Rabu (7/2/2018). 

Dia optimistis realisasi pembangunan rumah subsidi di 2018 bisa tercapai. Alasannya karena kebutuhan masyarakat untuk rumah murah masih tinggi, serta adanya komitmen pemerintah yang mendorong penyediaan rumah rakyat melalui Program Sejuta Rumah (PSR). Selain itu juga kuatnya semangat pengembang, khususnya anggota REI untuk membangun rumah subsidi.

Inisiatif Kementerian PUPR yang melaksanakan percepatan Perjanjian Kerja Sama Operasional (PKO) dengan 40 bank mitra pada 21 Desember 2017 juga turut menjadi pemacu suplai rumah subsidi karena proses akad kredit sudah bisa dilakukan pada Januari 2018.

Eman menambahkan, titik fokus pembangunan rumah subsidi diprioritaskan pada empat target pasar, yakni PNS, TNI/Polri, pekerja di sekitar kawasan industri, dan kelompok masyarakat sektor informal.

"Saya kira program PSR ini baik sekali, sehingga kami harus dukung. Ini menunjukkan pengembang masih punya idealisme dan kesempatan yang mulia untuk membantu negara sesuai kompetensi kami, yakni membangun rumah. REI harus berbuat banyak melalui program ini," tegasnya. 

Eman mengaku puas dengan capaian pembangunan rumah subsidi pada tahun lalu. Dari target 200 ribu unit, realisasi terlampaui dengan total 206.290 unit. 

"Sebanyak 206.290 unit itu adalah rumah subsidi yang sudah terbangun, jadi yang sudah siap dihuni. Sebagai pengembang peran dan tugas kami adalah membangun, sehingga targetnya pembangunan. Kalau berdasarkan akad kredit mungkin datanya ada di bank atau PPDPP Kementerian PUPR," ungkap dia. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat DPP REI, lima besar daerah penyumbang pembangunan rumah MBR di 2017 adalah Jawa Barat sebanyak 24.380 unit, Jawa Timur 19.265 unit, DKI Jakarta 17.921 unit, Sumatera Utara 13.273 unit, dan Sulawesi Selatan 12.059 unit.

Sedangkan lima daerah dengan pembangunan rumah subsidi terendah adalah Maluku hanya 241 unit, Khusus Batam 335 unit, D.I Yogyakarta 362 unit, Maluku Utara sebanyak 474 unit, dan Bangka Belitung 672 unit.

 

2 dari 2 halaman

Hadapi Kendala

Saat ini hampir 70 persen anggota REI adalah pengembang rumah subsidi. Meski begitu diakui Eman, pelaksanaan PSR masih dihadapkan oleh berbagai hambatan, antara lain belum terealisasnya kebijakan penyederhanaan perizinan untuk pembangunan rumah bersubsidi sesuai amanah Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2016.

Masih terjadinya bottleneck penyaluran subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) oleh perbankan di sejumlah daerah karena kekurangan sumber daya manusia, serta masih adanya kendala teknis dan operasional di 2017 yang perlu dibenahi.

“Kami yakin pemerintah senantiasa mendukung bisnis properti secara konkret, terutama terkait perizinan di daerah, karena terbukti industri ini dapat menjadi stimulan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor riil,” tutur Eman. 

Sebenarnya, lanjut Eman, posisi REI hanya "relawan" dalam pembangunan rumah rakyat, karena sesuai amanah Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, upaya menyediakan rumah rakyat merupakan wewenang dan tanggungjawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Oleh karena itu, sangat disayangkan bila dalam tiga tahun PSR berjalan, belum seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap program strategis nasional tersebut, khususnya terkait kemudahan perizinan, serta dukungan dalam penyediaan listrik dan air di lokasi rumah subsidi yang dibangun anggota REI.

Penyediaan listrik dan air bersih merupakan salah satu syarat untuk akad kredit rumah subsidi. Kalau spiritnya tidak sama, kemudian pasokan listrik atau air lama, maka akad kredit tertunda dan yang menderita adalah pengembang, karena menanggung bunga kredit konstruksi (modal kerja) yang tinggi. Padahal marjin membangun rumah subsidi sangat kecil, yakni di bawah 10 persen.

REI saat ini terus memperjuangkan agar pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mendorong suku bunga kredit konstruksi dapat diturunkan sehingga finansial pengembang rumah subsidi bisa lebih kuat. Saat ini, bunga kredit konstruksi untuk pengembang subsidi disamakan dengan bunga buat pengembang nonsubsidi yang berkisar 11-13 persen. Sementara untuk pembeli rumah subsidi pemerintah sudah menyediakan KPR dengan suku bunga 5 persen dan uang muka 1 persen. 

"Kami kira program ini bagus sekali tapi akan sulit terealisasi kalau belum semua stakeholder bergerak. REI tidak bisa lari sendiri, karena kami butuh dukungan pemangku kepentingan lain, mengingat rumah subsidi ini adalah program strategis nasional dan bagian dari Nawa Cita Presiden Jokowi,” tutup Eman.