Sukses

Pemerintah Diminta Konsisten Capai Target Swasembada Pangan

Swasembada dinilai tak tercapai karena beberapa kali, importasi masih jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia hingga saat ini dinilai masih belum mampu mencapai target swasembada beberapa komoditas. Pemerintah pun diminta mencari cara untuk bisa mencapainya.

Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo menilai, pemerintah harus konsisten dalam mewujudkan swasembada pangan sebagaimana yang menjadi program Nawacita Presiden Jokowi.

Sebab memasuki tahun ke-4 pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, target swasembada pangan belum juga terwujud. Ini terlihat dari beberapa kali, importasi masih jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

“Bagaimana mau swasembada kalau kebutuhan pangan saja kita masih impor,” kata Haryo dalam keterangannya, Minggu (11/2/2018).

Menurut politisi partai Gerindra tersebut, ada beberapa faktor yang membuat Indonesia belum juga mencapai swasembada. Salah satunya tidak adanya koordinasi antara Kementerian Pertanian dengan kementrian teknis lainnya.

Ia menyayangkan, sebagai negara yang sempat mendapatkan julukan lumbung beras Asia, Indonesia sekarang justru harus mengimpor pangan dari negara tetangga.

Menurut Bambang, untuk memperbaiki koordinasi antar kementerian membutuhkan campur tangan presiden. Dengan mengevaluasi target swasembada beberapa komoditas pertanian di Indonesia.

Ia mengatakan, seharusnya negara ini mencontoh Belanda dalam mencukupi kebutuhan pangannya. Meski hanya memiliki luas lahan pertanian terbatas, nyatanya Belanda tidak memerlukan impor pangan.

 

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menjelaskan, saat ini stok beras di Pasar Induk Cipinang yang sering dianggap sebagai barometer ketersediaan beras, hanya tersedia 21.484 ton per 8 Februari.

Angka ini jauh di bawah ambang batas aman yakni setidaknya terdapat stok sebesar 25 ribu hingga 30 ribu ton.

Dia mengakui jika stabilitas harga beras terus terjadi hingga September 2017. Namun, begitu memasuki November 2017, harga beras merangkak naik dan terjadi lonjakan yang signifikan pada Desember. Pemerintah pun diminta segera menstabilkan harga komoditas pangan ini.

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Ingin Swasembada Pangan, RI Kucurkan Rp 23 Triliun

Kementerian Pertanian (Kementan) mengalokasikan sebesar Rp 23,8 triliun untuk program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. Sebagian besarnya digunakan untuk peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai. 

Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengungkapkan, anggaran tersebut akan dipakai untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas rempah-rempah.

"Dana sekitar Rp 23 triliun itu digunakan untuk program yang sudah kita laksanakan satu dua tahun ini, yaitu peningkatan produktivitas jagung, padi, kedelai, dan rempah lainnya," ucap dia di kantornya di Jakarta, Senin (29/1/2018).

"Dalam rangka peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kedelai itu, ada rehabilitasi jaringan irigasi. Kemudian ada pengembangan alat mekanisasi," Hari menambahkan. 

Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga diberikan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu dialokasikan untuk benih dan pupuk tanaman perkebunan, seperti rempah-rempah, tanaman semusim, tanaman penyegar, dan tanaman tahunan.

"Dari total anggaran yang kita dapatkan, paling banyak dipakai di sarana prasarana, sekitar Rp 6 triliun. Sama di tanaman pangan untuk mencapai swasembada pangan semisal padi, jagung, dan kedelai," pungkas dia.

Untuk diketahui, Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat.

"Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," jelas dia dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2018).

Hal ini sangat terkait dengan perubahan lainnya yaitu semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian.

Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat. Hal ini berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi. 

Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu, regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani sehingga swasembada pangan, khususnya beras diperkirakan sulit tercapai. 

"Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran,” ungkapnya.