Liputan6.com, Jakarta - Perum Bulog mendata sebanyak 10 ribu ton beras impor asal Vietnam tiba di Pelabuhan Tenau Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (12/2/2018). Selanjutnya akan menyusul sebanyak 30 ribu ton beras impor dijadwalkan datang lagi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 13 Februari 2018.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Siti Kuwati mengatakan, sebanyak 10 ribu ton beras impor yang tiba di Pelabuhan Tenau merupakan bagian dari impor 57 ribu ton tahap pertama. Seluruh beras impor di tahap pertama ini dipasok dari Vietnam.
"Hari ini yang sudah bongkar di Pelabuhan Tenau, NTT 10 ribu ton. Ini dari Vietnam karena 57 ribu ton tahap pertama semua dari Vietnam," kata Siti saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin ini.
Advertisement
Baca Juga
Data sebelumnya, dari 57 ribu ton, sebanyak 6 ribu ton beras impor masuk melalui Pelabuhan Merak, sebanyak 41 ribu ton melalui Pelabuhan Tanjung Priok, dan 10 ribu ton lewat Pelabuhan Tenau.
"Yang Merak dan Priok sedang pengurusan dokumen. Kami sedang urus dokumen-dokumen impornya, ada bill of landing, surveyor, dokumen asuransi. Jadi harus lengkap dulu, clear, tidak serta merta datang bisa langsung dibongkar," tegas Siti.
Tahap selanjutnya, Siti menambahkan, rencananya kedatangan lagi beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok sebanyak tiga kali dengan total volume 30 ribu ton. Jadwalnya mulai masuk besok 13 Februari 2018.
"Ini jadwal ya, kami lihat kondisi cuaca dan lainnya. Sebelumnya saja dijadwalkan tanggal 9, tapi mundur karena faktor cuaca," ujar dia.
Dia menegaskan, seluruh beras impor oleh Bulog akan masuk sebagai cadangan pemerintah di gudang Bulog. Saat ini, posisi beras atau cadangan beras sekitar 600 ribu lebih ton. Jumlah tersebut terus menipis.
"Semuanya (beras impor masuk ke gudang dan akan keluar kalau ada rakortas. Jadi yang dikhawatirkan petani kenapa impor kalau ada panen, itu dua hal yang berbeda. Impor masuk menjadi cadangan pemerintah, masuk ke gudang bulog. Kalau panen tetap panen, Bulog akan tetap menyerap hasil panen sebagaimana diminta oleh pemerintah," tutur dia.
Syaratnya sesuai ketentuan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang menyebut, harga beras dijual seharga Rp 7.500 per kilogram (kg), kadar air harus 14 persen, kualitas butir patah 20 persen dan lainnya.
"Posisi beras cadangan pemerintah sekarang 600 ribuan ton, stok seluruhnya. Stok CBP untuk operasi pasar mencapai 43 ribu ton, dan stok komersial beras 7,8 ribu ton. Kami tetap menyerap hasil panen petani dan hingga saat ini sudah 12 persen sekitar 9,8 ribu ton, mungkin hari ini sudah 10 ribu ton," pungkas Siti.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Data Produksi Beras Tak Jelas Pengaruhi Tata Kelola Pangan
Sebelumnya, keakuratan data produksi beras nasional masih menjadi pertanyaan seiring melonjaknya harga beras di awal tahun ini hingga saat ini.
Pernyataan swasembada dinilai bertolak belakang dengan kenyataan, terjadinya lonjakan harga beras yang membuat ketidakjelasan tentang kondisi pasokan pangan.
Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, mengatakan, klaim adanya surplus beras sebanyak 17,6 juta pada akhir 2017 membuat pemerintah kurang waspada.
“Karena datanya kacau balau, tidak akurat, yang menyebabkan tata kelola pangan kita menjadi kacau pula,” ujar dia, Senin Senin 5 Februari 2018.
Dia pun mempertanyakan data produksi beras pemerintah. Sebab, apa yang tertera dalam data, sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Saat ini hanya Kementerian Pertanian yang menerbitkan data terkait produksi pertanian. Ini setelah di awal 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) memutuskan tak lagi mengeluarkan data terkait produksi produk-produk pertanian.
Dwi kembali mengingatkan pada pengalaman di 2015, ketika data menyebutkan ada surplus beras sebesar 10 juta ton. Namun kenyataannya stok beras di pasaran langka.
Dwi Andreas menjelaskan, sejatinya bukan hanya BPS yang terlibat dalam pengambilan data terkait produksi ini. Ada dua variabel besar yang membentuknya, yakni terkait luasan lahan dan produktivitas.
Untuk luasan lahan, Kementerian Pertanian yang memiliki kuasa penuh menentukannya berdasarkan perkiraan. Sementara itu, untuk produktivitas, ada 22 ribu tenaga yang dikerahkan untuk mengeceknya. Jumlahnya sama rata antara Kementerian Pertanian dengan BPS.
“Jadi yang memperoleh data untuk produksi itu 75 persen itu Kementan, 25 persen BPS dari mantri statistik. Kemudian kedua data tersebut, data luas panen dan produktivitas, digabung menjadi satu menjadi data nasional yang merupakan data produksi padi,” tutur ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.
Sementara Direktur Utama Bulog, Djarot Kusumayakti mengungkapkan, stok Bulog memang sudah terlihat mulai menurun sejak Desember 2017. Hingga saat ini, posisinya terus menurun dan hanya berada di angka 700 ribu ton per 4 Februari 2017.
“Kami sudah melaporkan kepada kementerian-kementerian terkait sejak November kemarin soal stok beras ini. Ke Kemenko Pererekonomian, ke Kementerian Pertanian, juga ke Kementerian Perdagangan” tutur Djarot.
Senada, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo menyatakan, ketesediaan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat terus mengalami penurunan.
Posisi stok Minggu 4 Februari 2018, berada pada angka 22.707 ton perhari, seperti dilansir Antara. Padahal, dalam kondisi normal rata-rata stok beras berkisar pada 25.000-30.000 ton per hari.
Kondisi penurunan stok inilah yang menjadi alasan Kementerian Perdagangan memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand pada akhir Januari. Keputusan ini diambil sebagai upaya menutupi kebutuhan konsumsi sekitar 2,4 hingga 2,5 juta ton per bulan.
Advertisement