Sukses

Pembatasan Impor Tembakau Kembali Tuai Protes

Jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190 ribu -200 ribu ton per tahun.

Liputan6.com, Jakarta Pelaku industri rokok menilai langkah pemerintah untuk membatasi impor tembakau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau tidak tepat.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, menyatakan produksi tembakau di dalam negeri saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan industri rokok nasional.

Dalam beleid Permendag Nomor 84, ada pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal, ketiga jenis tembakau ini dibutuhkan industri rokok, sedangkan hasil pertanian tembakau dalam negeri belum mencukupi.

"Kalau keran impor itu dikurangi, pasokan tembakau akan turun. Kami pun tidak akan mendapatkan garapan dan ini efeknya akan besar," kata dia, Senin (12/2/2018).

Pengetatan impor tembakau, menurut Djoko, justru akan menciptakan dampak sistemik pada mata rantai tembakau di industri rokok.

“Kalau mau menyejahterahkan petani bukan dengan menutup keran impor, itu salah besar. Perintahkan kepada semua pabrik rokok untuk membangun program kemitraan, dijamin petani tembakau sejahtera," ucap dia.

Djoko melanjutkan, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri rokok. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk memperbaiki beleid pembatasan impor tembakau.

“Iya, itu masih jauh (aturan). Kenapa impor? Karena jumlahnya masih kurang," kata dia.

Pada pekan lalu, Djoko bertemu dengan Panitia Khusus RUU Pertembakauan di Surabaya, Jawa Timur. Pada kesempatan ini, pemangku kepentingan tembakau memberikan masukan kepada Tim Pansus.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190 ribu -200 ribu ton per tahun. Angka tersebut jauh di bawah kebutuhan industri, yakni 320 ribu-330 ribu ton tembakau per tahun.

Untuk saat ini, menurut Djoko, solusi buat meningkatkan produksi tembakau nasional dengan cara membangun kemitraan. Pemerintah harus memberikan arahan kepada para pabrikan rokok yang sejauh ini belum melakukan kemitraan, untuk segera menjalin kerja sama dengan petani tembakau. Lebih baik lagi jika arahan tersebut dikuatkan dengan payung hukum.

“Jadi pemerintah harus hadir di situ, sehingga pabrikan bisa memberikan pembinaan yang baik,” katanya.

Melalui program kemitraan, pabrik rokok dapat langsung mendiskusikan dengan para petani terkait besaran jumlah tembakau yang diperlukan untuk produksi dan kualitasnya. Dengan begitu, ketergantungan terhadap impor akan berkurang.

“Kalau begini, petani dan pabrikan rokok sejahtera. Pabrikan tetap jalan dan karyawan bisa terus bekerja. Semuanya enak,” ucap dia. 

Djoko juga mengatakan, selama ini tata niaga tembakau terlalu panjang karena banyaknya tengkulak. Dengan bermitra maka akan menghilangkan tengkulak yang selama ini membeli murah dari petani dan menjual mahal ke pabrikan.

 

 

2 dari 2 halaman

Masukan ke Pansus RUU Tembakau

Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Tembakau bertemu dengan pelaku industri hasil tembakau di Surabaya, pekan  kemarin. Hasilnya, Pansus RUU Tembakau menerima banyak masukan dari pihak-pihak terkait industri tembakau, termasuk dua perusahaan rokok besar di Jawa Timur.

Anggota Pansus RUU Tembakau M Misbakhun mengatakan, berbagai masukan yang ada akan sangat positif bagi pembahasan draf aturan hasil inisiatif DPR itu. Sebagai contoh, industri tembakau telah banyak menyerap banyak tenaga kerja tanpa keahlian khusus terutama di bagian sigaret kretek tangan.

“Rata-rata mereka adalah wanita dan dengan bekerja sebagai buruh pabrik rokok. Mereka menjadi punya penghasilan yang cukup dan bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (9/2/2018).

Lebih lanjut legislator asal Pasuruan, Jawa Timur itu mengatakan, daya serap industri tembakau di Surabaya terhadap tembakau lokal ternyata sangat tinggi. Kisarannya antara 70-84 persen selama sepuluh tahun terakhir.

“Besaran persentase penyerapan tembakau lokal oleh industri tembakau ini ternyata sangat dipengaruhi oleh regulasi pemerintah tentang pengaturan dibidang perdagangan, tingkat harga dan regulasi kesehatan atas rokok,” dia menjelaskan.

Karena itu Misbakhun menegaskan, aspirasi yang menginginkan industri rokok menggunakan tembakau lokal hingga 80 persen perlu dikaji secara matang. Sebab, jika kebijakan itu diterapkan tanpa persiapan matang berupa ketersediaan lahan tembakau, penyediaan bibit unggul, hingga pengolahan pasca-panen maka akan berdampak serius bagi industri rokok.

“Karena ada bagian dari rokok yang memang harus diisi oleh tembakau yang jenis varietasnya tidak ada di Indonesia. Bahkan tidak bisa ditanam di Indonesia sehingga harus diimpor,” kata inisiator RUU Tembakau itu.