Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengenakan pajak kepada para pedagang online yang berjualan di Instagram, Facebook, dan media sosial (medsos) lainnya. DJP tengah menggodok aturan tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) DJP, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, pemerintah sedang menyusun aturan pajak perdagangan online (e-commerce), khususnya bagi marketplace.
Advertisement
Baca Juga
Marketplace merupakan lapak online atau media yang digunakan untuk memasarkan sebuah produk. Contohnya, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan lainnya yang digunakan untuk membangun toko online.
"Bukan berarti kalau marketplace e- commerce duluan (dikenakan pajak), yang lain tidak kena (jualan di medsos)," ujar Hestu Yoga di Jakarta, Senin (19/2/2018).
Dia mengaku, karakteristik antara marketplace dan berjualan online di Instagram, Facebook maupun media sosial lain sangat berbeda. Namun bukan berarti jualan online di medsos bisa lepas dari kewajiban membayar pajak.
"Bukan berarti yang melalui medsos tidak bayar pajak. Mereka tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan self assessment. Yang jualan di Instagram, ya lapor penghasilannya dari situ berapa di SPT Pajak," jelasnya.
DJP, tegas Hestu Yoga, akan mengawasi secara konsisten kegiatan atau aktivitas penjualan pelaku usaha di medsos.
"Jadi sesuai ketentuan, mereka tetap lapor, bayar pajak, tapi tidak melalui mekanisme marketplace," dia menuturkan.
Hestu Yoga menambahkan, DJP akan tetap mencari cara yang lebih baik dan efisien untuk menjangkau pajak pengusaha yang berjualan via medsos, dan di luar marketplace.
"Regulasi e-commerce (termasuk jualan di Instagram)Â masih dibahas intensif dengan BKF dan Bea Cukai Kemenkeu. Kita juga akan ketemu dengan pelaku e-commerce lagi untuk mematangkan soal itu. Mudah-mudahan bisa segera keluar," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ditjen Pajak Intip Saldo Rekening Rp 1 Miliar Mulai April 2018
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mulai menagih perbankan untuk melaporkan data nasabah domestik den‎gan saldo rekening paling sedikit Rp 1 miliar.
Batas waktu pelaporannya oleh lembaga jasa keuangan terdaftar paling lambat akhir April 2018. Ketentuan ini dalam rangka implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) pada September 2018.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Robert Pakpahan mengungkapkan, kewajiban pelaporan data nasabah domestik dengan saldo rekening paling sedikit Rp 1 miliar sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
"Ini untuk UU Nomor 9/2017. Tapi supaya tap in-nya mulus, kita akan bicara dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya menggunakan sistem yang tidak memberatkan perbankan," tutur Robert di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/2/2018).
‎Robert mengaku, Ditjen Pajak terus berkoordinasi dengan OJK, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional ‎(Perbanas) agar pelaksanaan wajib lapor data nasabah saldo rekening domestik paling sedikit Rp 1 miliar berjalan baik.
"Kami bicara terus dengan perbankan, Perbanas, Himbara. Gampang, tidak buru-buru, masih banyak waktu," jelas Mantan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu itu.
Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak, Yon Arsal menambahkan, Ditjen Pajak sedang mempersiapkan infrastruktur untuk menampung data nasabah dari lembaga jasa keuangan. Meliputi bank, asuransi, pasar modal, dan lainnya.
"Kami belum melihat datanya, bentuknya seperti apa, tapi yang pasti infrastrukturnya sudah disiapkan. Kami berharap sebenarnya kalau melihat datanya, itu statusnya data dari pihak ketiga, jadi treatment-nya sama, kerahasiannya dijaga," papar Yon.
Dia memperkirakan, Ditjen Pajak bakal kebanjiran data nasabah dari lembaga jasa keuangan. ‎
"Kemungkinan ini datanya masif sekali jumlahnya. Sekarang sedang disiapkan infrastrukturnya. Karena data ini masuk, lalu harus dianalisis dulu, kemudian di matching-kan," terang Yon.
"Kami lihat berapa yang sudah masukin SPT (Surat Pemberitahuan), siapa yang belum. Tapi kami bisa yakinkan data ini dapat dijadikan tools utama untuk meningkatkan kepatuhan," dia menambahkan.
Yon berharap, dari seluruh data nasabah domestik dengan saldo rekening minimal Rp 1 miliar yang dilaporkan lembaga jasa keuangan tidak ada lagi nasabah yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
"Saya tidak tahu persis masih ada atau tidak yang tidak punya NPWP, harusnya sih sudah tidak ada ya. Tapi kita akan melihat dari yang akan masuk ini berapa banyak yang sudah menyampaikan SPT," tutur Yon.
Advertisement
30 April 2018
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga ‎Saksama menjelaskan, sesuai PMK Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, lembaga keuangan diwajibkan melakukan pendaftaran ke Ditjen Pajak paling lambat akhir Februari 2018.
"Kewajiban pelaporannya untuk nasabah domestik paling lambat akhir April 2018 bagi seluruh lembaga keuangan yang disampaikan langsung kepada Ditjen Pajak," tegasnya.
Sedangkan untuk nasabah orang atau entitas asing, kewajiban lapor diatur sebagai berikut:
1. Paling lambat 1 Agustus 2018, lembaga jasa keuangan (perbankan/pasar modal/perasuransian) harus menyampaikan ke OJK, dan OJK paling lambat 31 Agustus 2018 menyampaikan ke Ditjen Pajak.
2. Lembaga jasa keuangan dan entitas lainnya menyampaikan secara langsung ke Ditjen Pajak paling lambat akhir April 2018.
"Perdirjen Nomor 04/PJ/2018 mengatur tata cara pendaftaran dan tata cara pelaporannya," tukas Hestu Yoga.