Sukses

RI Harus Tuntaskan 3 Kendala Ini agar Swasembada Garam

Produk garam nasional juga memiliki kualitas rendah sehingga membuat industri memilih impor garam untuk bahan baku industri.

Liputan6.com, Jakarta - Komoditas garam produksi Indonesia memiliki beragam masalah yang harus dituntaskan jika ingin mencapai swasembada. Selain produksi yang masih rendah, tingginya harga garam produksi dalam negeri membuat sulit bersaing dengan garam impor.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan mengatakan, saat ini luas lahan tambak garam di Indonesia hanya sebesar 25.800 hektare (ha). Dari jumlah tersebut, petani dalam negeri hanya mampu memproduksi 2,6 juta ton garam per tahun.

"Sekarang lahan tambah garam ada 25.800 ha, yang existing, menghasilkan 2,6 juta ton per tahun," ujar dia di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (22/2/2018).

Sementara dari segi harga, lanjut dia, garam produksi dalam dibanderol lebih mahal ketimbang garam impor. Saat ini harga garam produksi petani lokal mencapai Rp 2.200 per kg, sedangkan jika harga garam impor hanya sekitar Rp 600 per kg.

‎"Harganya dulu Rp 1.100 per kg, sekarang Rp 2.200. Di kita, garam tidak jadi unggulan karena harga jauh lebih mahal dibanding negara yang garamnya jadi produk unggulan seperti Australia dan India. ‎Garam impor itu harganya US$ 45 per ton atau Rp 600 perak per kg, itu sudah kita makan, sudah harga di meja, dibandingkan harga Rp 2.200," kata dia.

Selain itu, produk garam nasional juga memiliki kualitas yang rendah. Hal ini yang membuat garam yang digunakan sebagai bahan baku industri harus diimpor dari negara lain.

"Garam produksi kita itu NaCL-nya 89, sedangkan industri butuhnya yang NaCL 97. Kalau dipaksakan pakai 89 mesin produksinya rontok. Sehingga produk lokal kalau kita harus dipaksa jadi NaCL 97, harus ada proses lanjutan, itu yang buat harganya jadi mahal," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kemendag: RI Belum Bisa Penuhi Kebutuhan Garam Industri

Sebelumnya, pemerintah akan impor garam sebanyak 3,7 juta ton. Garam tersebut digunakan untuk kebutuhan industri.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan mengatakan, impor dilakukan karena produksi garam dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan industri. Selama ini, produksi dalam negeri hanya untuk kebutuhan konsumsi.

Sementara, industri dalam negeri terus berkembang. Hal itu membuat kebutuhan garam industri semakin meningkat.

"Jadi yang disebut swasembada garam sampai saat ini baru swasembada garam konsumsi. Kebutuhan dengan tingkat negara yang berkembang banyak industri kebutuhan garam semakin banyak," ungkapnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Minggu 28 Januari 2018.

Dia menambahkan, garam industri digunakan untuk berbagai industri antara lain kertas, farmasi, dan lain-lain. Garam ini memiliki kualitas yang khusus.

"Garamnya itu garam yang khusus spesial tidak seperti yang kita pikirkan. Sehingga industri sudah di sini mereka butuh. Pabrik kertas perlu garam," ujar dia.

Oke mengatakan, dari keputusan impor sebanyak 3,7 juta ton baru 2,37 juta ton yang telah terbit izin impornya. Dia bilang, impor garam tersebut akan dilakukan oleh 21 importir.

"Kemarin 21 industri, importir. Asahimas saja gede, 1 juta ton. Karena dia untuk ekspor 126 negara," kata dia.