Sukses

Nasib Miris TKI: Upah Minim hingga Terjebak Perdagangan Orang

Meski saat ini pemerintah sudah menyediakan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) ternyata belum optimal mengatasai masalah TKI.

Liputan6.com, Jakarta Berbagai masalah masih membelit Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang merantau ke negeri orang. Mulai dari terjebak dalam kejahatan perdagangan orang (human trafficking) hingga masalah pengupahan.

Ini seperti diungkapkan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Oky Wiratama.  "Kebanyakan mereka tuh jadi korban trafficking, terjebak," kata Oky saat ditemui di kantor LBH Jakarta, Minggu (25/2).

Dia mencontohkan sempat menangani kasus TKI yang terjebak perdagangan manusia pada 2017 lalu. Proses penanganan masalah ini cukup lama, hingga 6 bulan sampai akhirnya pelaku dipidana.

"Tahun lalu satu pengaduan trafficking, pelakunya sudah dipidana. Dia (korban) itu perempuan ke Malaysia dijanjikan untuk bekerja sebagai waitress (pelayan) kafe tapi akhirnya dia itu dijebak sampai di Malaysia dia dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial," tutur dia.

Saat kasus itu terbongkar, diketahui ternyata masih ada korban lainnya. "Satu kasus tapi waktu itu jumlah korbannya ada sekitar 5, mereka kelompok gitu. Yang dipidananya agensi yang di Indonesia ada suami istri," jelas dia.

Tonton Video Pilihan Ini:

 

2 dari 2 halaman

Upah Tak Layak

Tak hanya masalah perdagangan orang, banyak migran atau TKI yang memperoleh upah jauh di bawah ketentuan minimal yang seharusnya mereka terima.

Meski saat ini pemerintah sudah menyediakan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) ternyata belum optimal.

LTSA pun dinilai seharusnya bisa lebih menyosialisasikan dengan jelas kondisi di negara tujuan serta besaran upah minimal yang diperoleh.

"Saya akui memang pemerintah sudah membentuk LTSA. Jadi di situlah mereka mengurus paspor, dokumen-dokumen jadi mengurangi adanya calo. Kalau di desa kan banyak calo. Seharusnya di dalam LTSA yang tersedia itu diberikan juga informasi terkait upah minimal."

Oky berharap LTSA tersebut bisa menjangkau hingga ke tingkat desa untuk mensosialisasikan upah minimal.

"Seharusnya pemerintah menjangkau ke desa-desa terkait dengan kalau kamu ke Singapura sekian upah minimalnya, kalau kamu ke Malaysia sekian upah minimalnya."

Sebagai informasi, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan terjadi peningkatan kasus yang dialami pekerja migran di Malaysia bila dibandingkan antara tahun 2016 dengan 2017.

Data lainnya menunjukkan meskipun kasus pekerja migran mengalami penurunan dari 2016 ke 2017, namun jumlah kasus yang dialami pekerja migran tetap tinggi. Terlebih data BNP2TKI menunjukkan terjadi peningkatan kasus pekerja migran yang tidak berdokumen (254 orang), kasus over charging (33 orang) dan kasus overstay (33 orang).

Sedangkan data kasus yang masuk ke SBMI menunjukkan sepanjang tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1501 kasus. Selain kasus kontraktual, tidak sedikit pekerja migran mengalami kasus penganiayaan, trafficking dan sakit.

Selain data dari SBMI, data monitoring media yang dilakukan JBM juga menunjukkan selama tahun 2017 kasus terbanyak yang dialami pekerja migran adalah kasus pekerja migran tidak berdokumen (6.300 kasus), kasus perdagangan orang (1.083 orang) dan kasus pekerja migran yang meninggal dunia (217 orang).

Sumber: Merdeka.com