Sukses

9 Fakta Aturan Baru Sri Mulyani soal Hitung Omzet Wajib Pajak

Adanya PMK Nomor 15 Tahun 2018 sempat meresahkan para pengusaha karena seolah pemerintah akan mengejar pajak secara agresif.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto bagi wajib pajak (WP). Dengan aturan ini, petugas pajak dapat menghitung penghasilan kotor atau omzet WP dengan cara lain, termasuk dari biaya hidup WP.

Keluarnya aturan ini sempat meresahkan para pengusaha karena seolah pemerintah akan mengejar pajak secara agresif, menyasar ke semua orang dengan segala jurus.

Lalu Apakah benar demikian?

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo membeberkan sembilan fakta mengenai aturan tersebut. Berikut petikannya:

1. Alasan terbitnya PMK Nomor 15 Tahun 2018

Peraturan Menteri Keuangan ini merupakan pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), yang memerintahkan Menteri Keuangan untuk menetapkan cara lain menghitung peredaran bruto. 

"Cara lain ini ditujukan bagi wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan dan bukti-bukti pendukungnya," jelas dia seperti dikutip Senin (5/3/2018).

2. Kenapa harus dihitung dengan cara lain?

Menurut Prastowo, pembukuan berdasarkan standar akuntansi yang baik adalah sarana yang dibutuhkan untuk dapat menghitung omzet dan laba bersih, sehingga dapat dihitung pajak terutang.

Tanpa pembukuan, pencatatan atau penyerahan bukti pendukung, omzet dan laba bersih sulit diketahui. Ini yang menjadi pertimbangan kenapa omzet harus dihitung dengan cara lain.

 

2 dari 5 halaman

3. Cara Menghitung

Pajak dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Bagi yang menyelenggarakan pembukuan, PKP dihitung dengan rumus (Penghasilan – Biaya – PTKP untuk WP OP).

Bagi WP yang membuat pencatatan, PKP dihitung dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang dibuat Dirjen Pajak dan dikurangi PTKP.

Contoh:

Ibu Penisilin, seorang dokter.

Menurut ketentuan NPPN 50 persen. Jika omzetnya Rp 4 miliar, maka NPPN-nya 50 persen x Rp 4 miliar = Rp 2 miliar.

Jika bujang maka PTKP-nya Rp 54 juta, sehingga PKP-nya sebesar Rp 1,946 miliar, dan pajak terutang sebesar Rp 528,8 juta, dihitung dengan cara: 5 persen x 50 juta = Rp 2,5 juta 15 persen x Rp 200 juta = Rp 30 juta 25 persen x Rp 250 juta = Rp 62,5 juta 30 persen x Rp 1,446 miliar = Rp 433,8 juta.

Bapak Dendy, pedagang eceran mainan.

Menurut pencatatan yang dilakukan, omzet selama setahun adalah Rp 4 miliar. Ia masuk kategori UKM sesuai PP 46/2013, sehingga terutang PPh 1 persen final, sehingga kewajiban pajaknya Rp 40 juta.

PT Dendy Perkasa, memiliki omzet Rp 100 miliar dan berdasarkan pembukuan laba bersih (penghasilan kena pajak) Rp 5 miliar. Maka pajak terutang 25 persen x Rp 5 miliar = Rp 1,25 miliar.

 

3 dari 5 halaman

4. Sapa yang Wajib Melapor?

Menurut Pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Sedangkan yang wajib melakukan pencatatan adalah WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan omsetnya kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.

Dalam contoh di atas, PT Dendy Perkasa wajib menyelenggarakan pembukuan, sedangkan Ibu Penisilin dan Bapak Dendy setidaknya wajib membuat pencatatan.

"Jadi yang harus melapor hanya mereka yang punya usaha atau pekerjaan bebas, sehingga karyawan atau pegawai tidak termasuk," kata Prastowo.

5. Lalu bagaimana cara lain ini diterapkan?

Cara lain ini diterapkan pada saat pemeriksaan pajak. Hal ini dikarenakan pemeriksa pajak tidak dapat meyakini kebenaran pembukuan dan bukti pendukung yang tidak atau tidak sepenuhnya disampaikan.

Maka, pemeriksa pajak akan menggunakan salah satu atau beberapa dari delapan metode yang diatur antara lain transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan dana, satuan dan atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, SPT atau hasil pemeriksaan sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, atau penghitungan rasio.

"Dengan kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dan menyerahkan kepada pemeriksa, maka kewajiban pajaknya tidak akan dihitung dengan cara lain ini," terang dia. 

 

 

 

4 dari 5 halaman

6. Apakah penggunaan cara lain ini adil?

Menurut UU KUP, kita menganut sistem self assessment, yakni WP diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.

Ini hal yang luar biasa, maka jangan sampai kepercayaan ini disalahgunakan, antara lain dengan tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

Di sisi lain, Ditjen Pajak berwenang menguji kepatuhan wajib pajak, dengan pemeriksaan. Pertama-tama yang akan diuji adalah pembukuan, pencatatan dan bukti pendukung.

Jika tidak tersedia, baru digunakan cara lain dan penghasilan neto akan dihitung dengan NPPN. Jadi ini merupakan opsi terakhir, ketika kepercayaan menurut sistem self-assessment tidak digunakan sebagaimana mestinya.

7. Lalu apakah karyawan atau pegawai perlu khawatir?

"Tidak perlu karena bukan sasaran," kata Pastowo dengan tegas.

Wajib Pajak karyawan cukup menyimpan bukti penerimaan penghasilan dan bukti pemotongan pajak yang diterima, bukti-bukti kepemilikan aset atau hutang.

Jadi tidak benar bahwa petugas pajak akan meneliti, mencari-cari kesalahan, atau menggunakan PMK ini untuk menyisir objek pajak baru.

 

 

 

5 dari 5 halaman

8. Langkah apa yang harus diantisipasi wajib pajak?

Sesuai UU, jika wajib, maka selenggarakan pembukuan dan pencatatan yang baik sesuai ketentuan. Simpan seluruh dokumen dan bukti.

Hitung pajak dengan benar dan bayar kewajiban sesuai perhitungan, dan laporkan ke kantor pajak. Niscaya kita menjadi wajib pajak patuh yang tak perlu takut, justru harus bangga.

9. Adakah catatan terhadap PMK-15 ini?

Ada.

Terutama frasa “tidak sepenuhnya” di Pasal 1 harus diberi penafsiran yang jelas agar tidak subjektif dan menciptakan ketidakpastian di lapangan.

Ini perlu untuk menjamin hak wajib pajak dan menciptakan keadilan dan kepastian hukum.

Wajib Pajak juga sebaiknya diberi hak untuk menguji metode yang digunakan pemeriksa pajak, agar sesuai atau mendekati kondisi yang sebenarnya.

Maka, tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru, atau pemungutan yang agresif dan mencari-cari kesalahan.

"Ini hanya aturan pelaksanaan, yang justru untuk menciptakan kepastian dan keadilan," tutup Prastowo. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: