Sukses

Impor Barang Konsumsi Tinggi, Industri Dalam Negeri Bisa Terganggu

Impor barang konsumsi berlebih bisa menghambat pertumbuhan industri dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa impor barang konsumsi yang cukup tinggi bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Alasannya, impor barang konsumsi tersebut akan mengganggu pertumbuhan industri dalam negeri. 

Bambang bercerita, angka pertumbuhan impor barang konsumsi di 2017 cukup tinggi, berkebalikan dengan realisasi impor barang konsumsi setahun sebelumnya. 

Dia pun memaparkan data, impor barang konsumsi ke Indonesia pada 2016 tergolong minus, sementara pada 2017 mengalami kenaikan sekitar 16 persen.

“Lebih kaget lagi pas lihat data year on year (YoY) impor barang konsumsi, dari Januari 2017 sampai Januari 2018, naiknya 30 persen,” keluhnya saat acara Serah Terima Pelaksana Ketua Umum PP ISEI di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Kamis (8/3/2018).

Dia kemudian mempertanyakan, ketimpangan data antara kegiatan impor dan pemakaian barang konsumsi tersebut. Ia menyatakan pertumbuhan konsumsi yang berada di luar target yang diharapkan.

Bambang menduga, barang konsumsi yang diimpor itu kemudian banyak yang diperdagangkan secara online. Barang impor tersebut, ungkapnya, kebanyakan berasal dari China.

Impor barang konsumsi berlebih bisa menghambat pertumbuhan industri dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Jika itu terjadi, maka akan ikut berpengaruh pada investasi, tingkat konsumsi, maupun pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

“Mudah-mudahan ini jadi perhatian. Jangan keburu senang karena yang naik adalah impor barang modal yang artinya investasi jalan, tapi waspada juga terhadap lonjakan impor barang konsumsi, yang nantinya bisa memengaruhi produksi manufaktur dalam negeri,” pungkas dia.

2 dari 2 halaman

Necara Dagang

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia alami defisit US$ 670 juta pada Januari 2018. Indonesia alami defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara antara lain China, Thailand.

Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, ada surplus US$ 182 juta di sektor nonminyak dan gas (migas). Akan tetapi, impor naik sehingga tercatat defisit neraca perdagangan US$ 670 juta pada Januari 2018.

"Untuk nonmigas ada surplus US$ 182 juta tapi terkoreksi dengan ada defisit migas. Sehingga total neraca perdagangan defisit pada 2018," kata Suhariyanto.

Ia menambahkan, neraca perdagangan Indonesia juga alami defisit sejak Desember 2017. Pada Desember 2017, Indonesia alami defisit US$ 0,27 miliar yang dipicu defisit sektor migas US$ 1,04 miliar. Namun neraca perdagangan sektor nonmigas surplus US$ 0,77 miliar. Suhariyanto mengharapkan defisit tidak terjadi pada Februari.

"Kami harap ini tidak terjadi lagi pada bulan berikutnya sehingga neraca perdagangan surplus," kata Suhariyanto, Kamis (15/2/2018).

Suhariyanto menambahkan, neraca perdagangan Indonesia alami defisit dengan sejumlah negara antara lain China sebesar US$ 1,8 miliar, Thailand sebesar US$ 211 juta dan Australia sebesar US$ 178,2 juta.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: