Liputan6.com, Jakarta - Sampah menjadi permasalahan di setiap kota. Salah satu solusi menanggulanginya adalah memanfaatkan sampah sebagai sumber energi listrik melalui pengolahan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Namun, masih ada kesalahan persepsi tentang pemanfaatan sampah pada sektor kelistrikan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan ‎dalam pemanfaatan sampah kota untuk kelistrikan masih terkendala persepsi pemerintah daerah (pemda).
Advertisement
Baca Juga
Andy mengungkapkan, ‎pemda kadang beranggapan sampah kota merupakan sumber daya jika dimanfaatkan sebagai listrik. Dengan begitu, sampah yang diubah menjadi listrik harus dibeli oleh pengembang pembangkit.
"Perlu ada perubahan pandangan pemda. Pemda memandang sebagai sumber daya, padahal itu sampah, jadi ada harganya," kata Andy, di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana,‎ melanjutkan seharusnya pemda mengapresiasi keberadaan pembangkit listrik tenaga sampah. Pasalnya, infrastruktur tersebut membantu mengatasi permasalahan sampah, bukan malah membebani dengan membanderol sampah yang akan dikelola menjadi listrik.
‎"Sampah kota itu siapa yang menyampah? PLN atau kotanya? Kota dong yang bayar, dia beres-beres. Jangan sampai mereka yang nyampah, PLN yang bayar," ujarnya.
Menurut Rida, jangan memandang keberadaan PLTSa untuk mencari keuntungan, tetapi untuk menjaga kebersihan lingkungan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan listrik yang dihasilkan dari PLTSa merupakan nilai tambah dari pengelolaan sampah.
‎"Sampah kota bukan isu listrik tapi lingkungan, jangan sampai dibebankan ke PLN. Sampah kota kalau ada pembangkit listrik tidak mencari profit, tapi demi lingkungan," ucapnya.
Â
Jonan: Program Kelistrikan 35 Ribu MW Terus Berjalan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan bahwa program ketenagalistrikan 35 ribu Mega Watt (MW) tidak jalan di tempat. Saat ini pembangunan infrastruktur kelistrikan tersebut terus berjalan mengikuti kebutuhan.
Jonan mengatakan, program kelistrikan tersebut telah berjalan 2,5 tahun, tetapi proses pembangunan pembangkit membutuhkan waktu melebihi dari 2,5 tahun.
"Ini dimulai pertengahan 2015. Kalau pembangkit besar-besar enggak mungkin dua tahun. Kontruksi, penandatanganan PPA (jual beli listrik), pengadaan dan perencanaan," kata Jonan, di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Jonan menambahkan, meski pembangunan sudah selesai‎, pengoperasian pembangkit masih membutuhkan waktu lebih lama menyesuaikan jenis pembangkit dan kapasitas.
Saat ini sebanyak 17.116 MW program kelistrikan sedang dalam tahap konstruksi. Selebihnya ada yang sudah tanda tangan kontrak dan ada yang dalam tahap pengadaan serta tahap perencanaan.
"Untuk yang tahap konstruksi ini tetap berjalan. Tidak ada masalah," ucap Jonan.
Advertisement