Liputan6.com, Jakarta - Industri Indonesia dituntut untuk mengedepankan inovasi agar produk dalam negeri memiliki nilai jual tersendiri. Apalagi Indonesia sebagai negara yang terlibat dalam perdagangan di pasar global.
Salah satu hal yang ditekankan ada dalam barang dagangan itu ialah nilai tambah lebih (added-value). Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia Triawan Munaf menjelaskan, aktivitas ekspor Indonesia untuk produk mentah saat ini terbilang bagus. Akan tetapi, ia menegaskan, itu perlu dieksplor lebih jauh lagi.
"Pengusaha kita masih lemah karena belum bisa menciptakan brand tersendiri. Kita harus lebih dari itu, jangan hanya ekspor bahan mentah saja," ucap dia di sela-sela acara Indonesia International Furniture Expo (IFEX) di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Triawan melanjutkan, total pendapatan sektor ekonomi kreatif dalam negeri saat belum maksimal lantaran pengusaha Indonesia belum mengembangkan produk yang memiliki nilai tambah. Dia juga turut memberikan perbandingan terkait ekspor biji kopi Indonesia.
Menurut dia, kopi yang bijinya berasal dari Indonesia dan lalu diolah oleh pihak luar kemudian dipasarkan kembali di pasar lokal seperti Starbucks, harganya bisa jauh lebih mahal.
"Oleh karena itu, ekonomi kreatif adalah added-value, bukan komoditi," ujar Triawan.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Arlinda mengatakan, pemerintah masih punya harapan untuk industri furnitur dalam negeri agar bisa menciptakan produk dan brand tersendiri.
"Jangan sampai kita hanya mengekspor bahan baku yang sebenarnya itu bisa dinikmati negara lain. Coba buat bahan baku itu bisa dinikmati di Indonesia juga, dan proses produksinya ada di Indonesia," jelas dia.
Â
Jurus Bekraf Jadikan Film Karya Anak Bangsa Rajai Bioskop
Sebelumnya, kesuksesan film Dilan 1990 di bioskop Tanah Air membuktikan bahwa industri perfilman Indonesia kini tengah kembali bergeliat. Hal itu membuat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) terus berupaya untuk mendorong subsektor tersebut berkembang.
Kepala Bekraf, Triawan Munaf mengatakan, penambahan jumlah layar bioskop adalah salah satu indikator untuk mendongkrak perputaran uang di ranah perfilman. Dia membuat komparasi bahwa penambahan layar dapat meningkatkan jumlah pengunjung bioskop, khususnya penonton film Tanah Air.
"Pada saat Bekraf baru berdiri tiga tahun lalu, layar bioskop hanya ada sekitar 1.100 layar, sekarang sudah 1.500 layar," ujar dia di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta, Senin 26 Februari 2018.
"Itu selaras dengan jumlah penontonnya, di mana ketika 2015 ada sekitar 16 juta penonton film Indonesia. Jumlahnya naik jadi 34,5 juta pada 2016, dan akhir 2017 sudah mencapai 42 juta," Triawan menambahkan.
Lebih lanjut, Triawan memaparkan, dana dalam pembuatan film juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, Bekraf membuat program bernama Akatara, yakni wadah untuk mempertemukan investor dan pembuat film.
Pada tahun lalu, Akatara tercatat berhasil memberikan investasi kepada 20 persen pembuatan film dari jumlah total film yang ditawarkan.
Triawan menjelaskan, ada tiga sektor yang diunggulkan Bekraf pada tahun ini, yaitu kuliner, fesyen, dan kerajinan tangan. Terdapat pula tiga subsektor yang menjadi unggulan, yakni musik, film, serta aplikasi. Namun begitu, dia menilai bahwa sektor perfilman dalam negeri tetap terus akan tumbuh.
"Setelah film Dilan 1990, nanti film lain kayak Benyamin Biang Kerok dan Wiro Sableng bisa meledak juga. Diharapkan itu bisa memicu gairah perfilman Indonesia," pungkas Triawan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Advertisement