Sukses

Menteri PPN: Ekspor Jasa Solusi RI Kurangi Kerentanan Rupiah

Pariwisata, termasuk kategori ekspor jasa yang bisa menghasilkan devisa dan memperkuat Rupiah secara permanen.

Liputan6.com, Jakarta Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih berlanjut hingga awal Maret. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pihak terkait dalam upaya mengurangi kerentanan nilai tukar rupiah terhadap sentimen global.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, salah satu cara untuk mengurangi risiko nilai tukar Rupiah tersebut adalah dengan penguatan ekspor jasa sebagai sumber devisa.

Pariwisata, termasuk kategori ekspor jasa yang bisa menghasilkan devisa dan memperkuat Rupiah secara permanen.

“Jadi jangan hanya berhenti pada ekspor barang, ekspor jasa juga tidak kalah penting karena ekspor jasa mempunyai multiplier effect yang luar biasa," ujar Bambang dalam keterangannya, Rabu (14/3/2018).

Menurut Bambang, tak hanya sisi transaksi berjalan (current account), penguatan Rupiah secara lebih fundamental juga bisa dilakukan dari sisi transaksi modal (capital account). Ada yang bersifat hot money, portofolio, dan Foreign Direct Investment (FDI).

Selain itu, dalam jangka pendek yang harus diperhatikan adalah portofolio, karena langsung berdampak terhadap Surat Utang Negara (SUN), pasar modal dan ujungnya terhadap Rupiah.

Berikutnya dari komponen pertumbuhan seperti konsumsi. Sejauh ini, konsumsi masih merupakan pendorong perekonomian yang dominan sebesar 54,3 persen terhadap PDB 2017.

Porsinya yang signifikan pada produk domestik bruto (PDB) membuat perlambatan konsumsi memiliki dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

Sebab itu, kata Bambang, perlu terus diwaspadai mengingat pertumbuhan konsumsi masih di bawah 5 persen. Dalam standar global, capaian pertumbuhan konsumsi di bawah 5 persen sebenarnya masih bagus.

"Jadi kalau ada yang bilang ada pelemahan daya beli, ya tidak cocok karena konsumsinya tumbuh meski tumbuhnya tidak di atas 5 persen," ujar Bambang.

Selain itu, yang juga perlu ditingkatkan adalah kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang sampai tahun 2013 hanya mencapai 3 persen atau lebih.

Padahal pada 2011, saat perekonomian tumbuh tinggi hingga 6,5 persen, kontribusi konsumsi tercatat di atas 3,5 persen. Tapi setelah tahun 2013, kontribusi pertumbuhan dari konsumsi berada di bawah 3 persen.

2 dari 2 halaman

Rupiah Melemah 0,27 Persen Sepanjang Maret

Bank Indonesia (BI) melaporkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Maret masih melanjutkan tren pelemahan. Tercatat hingga 14 Maret, rupiah melemah 0,27 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Zulferdi mengatakan masih berlanjutnya tren pelemahan ini masih karena sentimen rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) pada akhir bulan ini.

"Rupiah memang masih sedikit melemah, namun dibandingkan negara high yield country, pelemahan rupiah ini masih cukup minim dan lebih terjaga," kata Doddy di Gedung Bank Indonesia, Rabu (14/3/2018).

Dia menyebutkan, hanya Afrika Selatan yang pelamahan mata uangnya lebih rendah dari Indonesia yaitu hanya 0,17 persen. Sementara negara lainnya seperti Turki mata uangnya telah melemah 0,32 persen, Brazil 0,28 persen dan Rusia 0,49 persen.

Doddy meyakini, peluang rupiah untuk kembali menguat masih cukup besar. Hanya saja proses itu akan terjadi pasca FOMC meeting yang akan diselenggarakan pada 21 Maret 2018.

Keyakinan Doddy tersebut mengacu pada berbagai indikator ekonomi dalam negeri Indonesia yang menunjukkan data cukup positif. Seperti di antaranya inflasi yang tetap terjaga, pertumbuhan ekonomi lebih baik dan juga cadangan devisa sangat mencukupi.

"Jadi sebenarnya kalau melihat dari sisi domestik masih banyak peluang rupiah untuk kembali menguat di level fundamentalnya. Apalagi setelah FOMC meeting terlaksana nanti pasar akan lebih stabil," dia menegaskan.

Tonton Video Pilihan Ini: