Sukses

Disindir Jaksa Agung soal Anggaran, Ini Kata Sri Mulyani

Jaksa Agung M. Prasetyo menyindir Menkeu Sri Mulyani Indrawati, soal apa?

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati kerap menerima keluhan terkait alokasi anggaran dari Kementerian/Lembaga maupun daerah. Kini keluhan itu datang dari Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo yang curhat soal rendahnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Prasetyo menambahkan sebagai salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia, Kejagung cukup banyak menangani kasus perkara.

"Ini bukan curhat Bu Menteri (Sri Mulyani) untuk penegak hukum, kejaksaan adalah yang paling kecil mendapatkan jatah anggaran. Termasuk, bayangkan kami dituntut menyelesaikan kasus-kasus korupsi kadang-kadang. Dan setiap tahun kejaksaan ini hanya mendapat jatah satu perkara," ujar Prasetyo di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Namun demikian, dia mengatakan, pihaknya tetap berusaha menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan.

"Ini yang kita hadapi sekarang. Tapi bagaimana pun, kita dapat bekerja semaksimal mungkin dalam keberlangsungan bangsa dan negara kita," jelas Prasetyo.

Di tempat yang sama, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan akan segera mengkaji kembali porsi anggaran yang diterima oleh Kejaksaan. Menurutnya, pemberian anggaran yang memadai harus sesuai dengan fungsi strategis masing-masing institusi.

"Tadi di awal Pak Jaksa Agung menyindir saya, bahwa anggaran di Kejaksaan tidak meningkat. Nanti saya akan perhatikan secara benar. Tentu ini tujuannya adalah untuk memberikan suatu reward sesuai dengan fungsi strategis masing masing institusi," jelasnya.

"Karena yang sering saya mendapat argumen yang cukup valid adalah kepolisian dan kejaksaan membandingkannya dengan KPK. Jadi dalam hal ini sama-sama penegak hukum namun juga sama-sama memiliki keinginan menciptakan Indonesia yang baik," tambah Sri Mulyani. 

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, pihaknya akan menyesuaikan pengalokasian anggaran untuk Kejaksaan dengan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Kami akan melihat dengan kemampuan APBN untuk menciptakan suasana yang profesional dan adil. Sehingga seluruh institusi penegak hukum yang sangat penting bagi Indonesia dan ekonomi menjadi institusi yang memiliki kinerja yang baik," tandas Sri Mulyani. 

 

Reporter : Anggun P. Situmorang

Sumber : Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Utang Pemerintah Terus Naik, Kini Tembus Rp 4.034 Triliun

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) melaporkan total utang pemerintah pusat sampai dengan akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun.

"Posisi (utang pemerintah) per akhir Februari di Rp 4.034,8 triliun," berdasarkan data DJPPR Kemenkeu yang diperoleh Liputan6.com, Jakarta, Selasa (13/3/2018).

Realisasi utang pemerintah pusat tersebut naik signifikan sebesar Rp 76,14 triliun dibanding capaian per akhir Januari lalu yang sebesar Rp 3.958,66 triliun. Capaian Januari pun meningkat sekitar Rp 19,96 triliun dari posisi utang pada Desember 2017 yang sebesar Rp 3.938,7 triliun.

Nilai utang pemerintah sebesar Rp 4.034,8 triliun ini setara dengan 29,2 persen dari produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Rasio terhadap PDB ini masih jauh di bawah ambang batas Undang-undang (UU) Keuangan Negara tidak melebihi 60 persen dari PDB.

Dari data tersebut, diterangkan bahwa penggunaan utang pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial masyarakat.

Ke depan, pemerintah akan terus meningkatkan investasi maupun penerimaan perpajakan untuk membiayai belanja produktif. Salah satunya dengan dukungan dari program reformasi perpajakan, dan pertukaran informasi perpajakan secara otomatis (AEoI).

Sebelumnya Direktur Jenderal PPR Kemenkeu, Luky Alfirman, mengatakan penambahan utang pemerintah adalah konsekuensi dari adanya kebijakan defisit anggaran.

"Secara sistem dan struktur penganggaran di APBN, jika defisit, maka butuh pembiayaan yang saat ini dipenuhi sebagian besar dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)," ujar Luky.

Artinya, selama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih defisit, maka pemerintah tetap membutuhkan pembiayaan untuk menambal defisit tersebut. Pembiayaan ini bersumber dari penerbitan SBN dan pinjaman.

Pemerintah, ujar Luky, berupaya menjaga batas defisit di bawah 3 persen dari PDB sesuai amanat Undang-Undang Keuangan Negara. Termasuk mengurangi keseimbangan primer di APBN.

"Kami juga tetap mengalokasikan pembayaran bunga utang maupun pembayaran cicilan pokok (utang pemerintah)," dia menerangkan

Video Terkini