Sukses

Rasio Pajak Rendah Jadi Hambat Pembangunan RI

Rasio perpajakan di Indonesia masih 10,8 persen padahal idealnya berdasarkan IMF 12,5 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yang tercermin dari rasio perpajakan (tax ratio).

Rendahnya kepatuhan pajak tersebut dinilai menjadi salah satu penghambat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam mengatakan, untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan rasio perpajakan sebuah negara minimal sebesar 12,5 persen. Sedangkan rasio perpajakan Indonesia yang masih di level 10,8 persen.

 "Tax ratio kita masih rendah, yaitu berada di angka 10,8 persen. Sementara IMF mensyaratkan suatu negara dapat melakukan pembangunan berkelanjutan kalau tax rationya minimal 12,5 persen. Jadi alau pembangunan belum memenuhi harapan kita semua ya harap maklum," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Selain itu, kata Darussalam, struktur penerimaan pajak di Indonesia juga menghadapi anomali. Jika di negara lain, penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi lebih tinggi dibandingkan dengan PPh badan, namun di Indonesia justru PPh orang pribadi masih sangat rendah.

 "Kalau di Indonesia, penerimaan PPh orang pribadi diluar PPh 21 itu angkanya 2016 0,5 persen dari total pajak, 2017 0,7 persen dari total pajak. Sementara Italia misalnya, penerimaan PPh badan itu 3,9 persen sementara orang pribadi 16,8 persen. Belgia penerimaan orang pribadi 15,3 persen dan PPh badan hanya 3 persen dari PDB. Jadi angkanya bisa dua kali lipat dari penerimaan badan," jelas dia.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, untuk meningkatkan rasio perpajakan, pihaknya siap untuk melakukan reformasi di bidang pajak, salah satunya dengan reformulasi regulasi perpajakan. Hal ini tertuang dalam  Rancangan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan  RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih dibahas dengan DPR. 

"Ini akan mengadress dan tujuannya untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan. Tentunya kita sekarang ini mengadakan kebijakan yang tujuannya menciptakan keadilan," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

3,9 Juta WP Sudah Lapor SPT 2017

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat terdapat 3,9 juta Wajib Pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2017 sampai Kamis ini.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, jumlah Wajib Pajak yang melapor SPT pada tahun ini jauh lebih baik dibanding tahun lalu. Untuk diketahui, pada periode yang sama tahun lalu baru ada 2 juta Wajib Pajak yang telah melaporkan SPT Tahunan PPh.

"Sekarang ini SPT yang masuk sudah 3,9 juta. Jadi sudah ada 3,9 juta Wajib Pajak yang melapor," kata Robert, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 8 Maret 2018.

Dari jumlah yang telah melapor tersebut, Robert menyimpulkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat selaku Wajib Pajak meningkat. 

"Efektif, buktinya pertumbuhan rasio kepatuhan penyampaian SPT over the years kan tumbuh. Itu karena kesadaran dan bukan karena sanksi Rp 100 ribu. Tapi bisa juga karena sanksi apabila enggak melaporkan SPT bakal diperiksa," ‎tutur Robert.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno menuturkan, tingkat kepatuhan ‎Wajib Pajak membaik setelah pemberlakuan pengampunan pajak atau tax amnesty. Hal tersebut terbukti dengan adanya pertumbuhan perolehan pajak.

"Lebih baik, dari indikator pertumbuhannya juga udah bagus. Jadi ya saya berharap setelah nanti makin lebih baik," ujarnya.

Â