Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia beringsut naik setelah Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi permintaan minyak global akan meningkat tahun ini, meski lembaga ini juga memperingatkan tentang kondisi pertumbuhan pasokan yang lebih cepat.
Melansir laman Reuters, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 23 sen menjadi menetap USD 61,19 per barel, naik 0,4 persen. Sementara minyak mentah berjangka Brent naik 23 sen menjadi USD 65,12 per barel.
Baca Juga
Meningkatnya permintaan minyak global, seiring dengan kendala pasokan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak, telah membantu menjaga harga minyak mencapai posisi di atas USD 60 per barel.
Advertisement
"IEA mengatakan permintaan minyak mentah global akan meningkat tahun ini. Pernyataan ini yang meyakinkan investor," kata Phillip Streible, Ahlis Strategi Pasar Senior RJO Futures di Chicago.
Namun, IEA juga mencatat kenaikan pasokan bisa membatasi kenaikan harga minyak mentah. Lembaga ini percaya pasokan minyak non-OPEC, yang dipimpin Amerika Serikat, akan tumbuh sebesar 1,8 juta bpd tahun ini, sementara permintaan akan tumbuh sekitar 1,5 juta bpd.
Â
Produksi Minyak AS
Kenaikan yang tak henti-hentinya dalam produksi minyak mentah AS memang telah membayangi pasar. Produksi minyak negara ini telah mencapai rekor pada minggu lalu di posisi 10,38 juta barel per hari.
Sementara OPEC pada hari Rabu menaikkan perkiraan pasokan minyak non-anggotanya pada tahun ini hampir dua kali lipat dari prediksi pertumbuhan pada empat bulan lalu.
OPEC dan produsen lainnya yang dipimpin oleh Rusia mulai mengurangi pasokan pada bulan Januari 2017 untuk menghapus kekenyangan minyak mentah global yang telah terjadi sejak tahun 2014. Hal ini diimbangi dengan melonjaknya produksi minyak mentah AS.
Harga minyak juga melambung setelah Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru terhadap individu dan kelompok Rusia, termasuk dinas intelijen Moskow dan sebuah organisasi di Rusia.
"Ketegangan yang meningkat antara Barat dan Rusia meningkatkan potensi penurunan arus perdagangan dan aktivitas ekonomi, yang akan mengurangi pertumbuhan permintaan energi," kata John Kilduff dari Again Capital di New York.
Advertisement