Sukses

BPS: Sektor Migas Picu Defisit Perdagangan 3 Bulan Berturut-turut

Kepala BPS Suhariyanto melaporkan defisit neraca perdagangan dipicu sektor migas kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto ‎melaporkan, defisit neraca perdagangan dipicu oleh sektor minyak dan gas bumi (migas) kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Suhariyanto menyampaikan laporan itu usai menandatangani kerja sama BPS dan Kementerian ESDM terkait pertukaran data, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Suhariyanto menuturkan, Indonesia alami defisit neraca perdagangan selama tiga bulan berturut-turut. Salah satu penyebabnya dari sektor migas. Pada Februari 2018, defisit neraca perdagangan sekitar USD 120 juta.

"Kemarin siang BPS rilis data ekspor. 3 bulan berturut-turut neraca perdagangan defisit salah satu penyebabnya sektor migas," tutur Suhariyanto.

Dia mengatakan, ekspor nonmigas alami surplus, tetapi terpengaruh sektor migas yaitu ekspor minyak dan gas yang lebih rendah dari impornya. Ia menilai, kondisi itu perlu evaluasi lebih detail sehingga sektor migas tidak lagi memicu defisit neraca perdagangan.

"Berturut-turut itu ekspor nonmigas sebenarnya masih surplus. Tapi terseret ke bawah oleh sektor migas yang negatif hingga secara total kita defisit 3 bulan berturut-turut," paparnya.

Terkait dengan sektor energi, BPS sedang menyusun sistem neraca ekonomi lingkungan. Hal ini terkait dengan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang diregulatori oleh ‎Kementerian ESDM.

Menurut Suhariyanto, upaya tersebut sesuai dengan visi Kementerian ESDM mengelola energi dengan berwawasan lingkungan yang saat ini sedang kencang digalakkan untuk meredam gas rumah kaca.

"Berikutnya data EBT, BPS menyusun sistem neraca ekonomi lingkungan, ini sesuai visi esdm mengelola energi berwawasan lingkungan," ‎kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Defisit 3 Bulan Berturut-turut Perlu Jadi Perhatian

Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia kembali defisit di Februari 2018. Pada Januari 2018, defisit neraca perdagangan tercatat sebesar US$ 0,12 miliar.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, hal tersebut menjadi ketiga kalinya secara beruntun neraca perdagangan defisit. Sebelumnya pada Desember, defisit US$ 0,27 miliar dan Januari juga defisit US$ 0,68 miliar.

Dia menuturkan, defisit dalam tiga bulan berturut-turut ini harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, terjadi anomali di mana pada Desember 2016 serta Januari dan Februari 2017 neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus masing-masing sebesar US$ 990 juta, US$ 1,4 miliar dan US$ 1,2 miliar.

"Ini harus jadi perhatian karena tiga bulan berturut-turut neraca perdagangan kita defisit dari Desember 2017. Ini perlu jadi perhatian kita semua. ‎Tentu menjadi warning bagi kita," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Kamis 15 Maret 2018.

Selain itu, lanjut Suhariyanto, bila berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, potensi defisit juga masih akan terjadi pada sejumlah bulan di tahun ini, khususnya saat perayaan hari raya keagamaan seperti Idul Fitri.

"Sebenarnya kalau berkiblat tahun lalu. Defisit kita terjadi pada bulan Juli dan Desember. Kalau Juli, itu sebenarnya karena Lebaran sehingga ada kenaikan impor barang konsumsi," kata dia.

Namun demikian, Suhariyanto berharap pada Maret 2018, neraca perdagangan akan surplus. Pada Maret tahun lalu, neraca perdagangan surplus sebesar US$ 1,4 miliar.

‎"Saya berharap surplus. Tentunya kalau kita lihat Januari-Februari agak terkoreksi ke bawah tetapi kita masih lihat bulan Maret. Mudah-mudahan Maret surplusnya masih bisa mengkompensasi," ungkap dia.

Selain itu, jika terus dibiarkan, lanjut Suhariyanto, defisit ini juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah harus terus mendorong pertumbuhan ekspor, terutama dengan membuka pasar-pasar baru di negara nontradisional.

"Kalau bicara share dari ekspor ke pertumbuhan ekonomi sekitar 21 persen, impor sekitar 19,5 persen-20 persen. Jadi yang paling penting untuk memacu ke sana karena ekspornya pengaruh pendorong dan impornya faktor pengurang jadi minus. Harusnya yang paling bagus ekspor tinggi dan surplus tinggi. Itu baru akan berpengaruh besar kepada pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Â