Sukses

Aturan Baru Tarif Pajak UKM Terbit Pekan Depan, Ini Bocorannya

Pemerintah bakal memangkas pajak UKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet maksimal Rp 4,8 miliar setahun.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan memastikan aturan pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet maksimal Rp 4,8 miliar setahun akan terbit pada minggu depan.

Hal ini sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menargetkan keluar akhir bulan ini. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Suahasil Nazara mengatakan, Kemenkeu masih memfinalkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Dalam PP tersebut, mengatur batasan omzet pengusaha kecil yang wajib ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 4,8 miliar setahun. Tarif PPh final yang dikenakan sebesar 1 persen dari omzet.

"Masih difinalkan yang penurunan tarif. Minggu depan keluar," tegas Suahasil saat ditemui di sela-sela acara Running Spectacular, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Minggu (18/3/2018).

Dia menjelaskan, Kemenkeu akan mengatur tarif pajak UKM. Pemerintah akan memberi dua pilihan kepada UKM untuk mekanisme pembayaran pajak, bisa dengan PPh final atau tarif PPh normal.

"Apakah selamanya orang menggunakan pajak final atau pajak final itu stepping stone. Memang disediakan pajak final, tapi kita mau kepatuhan pajak mengikuti ketentuan yang reguler," dia menuturkan.

Lebih jauh Suahasil bilang, menggunakan pajak dengan tarif reguler memiliki keuntungan. Menurutnya, jika memakai tarif PPh final, maka perhitungan pajaknya berdasarkan omzet per tahun, sementara mekanisme normal dihitung berdasarkan laba setahun.

"Kalau sekarang kan final 1 persen dari omzet, kalau dia rugi tetap bayar pajak dengan mekanisme ini. Tapi kalau pakai yang normal, pajaknya dihitung berdasar laba. Jadi kalau pengusaha tidak untung, dia malah tidak bayar pajak, jadi kita buka kesempatannya, mau final atau normal," terangnya.

Dia menegaskan, dua pilihan tersebut akan tertuang dalam aturan baru terkait pajak UKM yang dapat disesuaikan dengan karakter bisnis pelaku usaha. "Kalau PPh final hanya perlu pencatatan atas omzet, sedangkan normal menggunakan pencatatan dan pembukuan, yakni penerimaan dan pengeluaran. Pilihan-pilihan ini kami buat dalam aturan baru sesuai karakteristik bisnisnya," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Batasan Omzet UKM Dipangkas?

Kemenkeu juga tengah mengkaji penurunan batasan omzet sebagai PKP dari Rp 4,8 miliar. Pihaknya mendengarkan usulan dari idengan mempertimbangkan inflasi dan lainnya.  

"Sekarang kan Rp 4,8 miliar, ada pertimbangan apakah ini kami turunkan. Tapi ada juga pertimbangan apakah tetap saja. Rp 4,8 miliar kan di 2013, sekarang kan inflasi sudah ada nilai yang lain (rendah) sehingga Rp 4,8 miliar ya biar saja, ini yang kami kaji," terang Suahasil.

Penentuan batasan omzet, sambung dia, harus melihat karakteristik usaha. Pengusaha yang omzetnya sekitar Rp 4,8 miliar per tahun dianggap sebagai UKM.

"Kalau dia menggunakan PPh final ditetapkan 1 persen dari omzet. Tapi kalau punya Rp 400 juta per bulan, ya bikin pencatatan dong, ada penerimaan, ada biaya," kata Suahasil.

Akan tetapi, pemerintah mendorong Wajib Pajak UKM untuk menggunakan tarif PPh normal. "Tapi kita harap makin lama, makin banyak yang pakai tarif normal karena lebih fair. Kalau untung bayar, rugi tidak bayar (pajak). Bisa menggunakan normal meski di bawah Rp 4,8 miliar nantinya," tandasnya.

Video Terkini