Sukses

INDEF: Utang Menumpuk, Pemerintah Terjebak Gali Lubang Tutup Lubang

INDEF menilai pemerintah berusaha menutup besarnya utang tersebut lewat sikap gali lubang tutup lubang.

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan utang Indonesia yang merupakan gabungan utang pemerintah dan swasta sekitar Rp 7.000 triliun bukan merupakan indikator yang baik. Mereka menilai pemerintah berusaha menutup besaran utang tersebut lewat sikap gali lubang tutup lubang.

Peneliti INDEF, Riza Annisa Pujarama, mengatakan utang luar negeri Indonesia meningkat agresif sejak 2015, yaitu sebesar Rp 558 triliun.

"Pemerintah mengklaim, utang itu dipakai untuk membiayai infrastruktur yang menjadi tujuan pemerintah periode (Presiden) Jokowi," ucapnya di Kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Dia menjelaskan, selain peningkatan belanja modal untuk infrastruktur, belanja pegawai, belanja barang, dan kewajiban utang negara juga semakin tinggi. Menurut dia, itu memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Selain itu, ucapnya, belanja pemerintah yang berbuah menjadi utang luar negeri itu pun banyak ditopang oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang jumlahnya lebih dari 50 persen. Kepemilikan SBN ini juga lebih banyak dikuasai investor asing.

"Ini yang harus diwaspadai, apalagi sekarang nilai kurs rupiah terdepresiasi. Ini bisa menimbulkan capital outflow," ungkap Riza.

Lebih lanjut dia menyampaikan, rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang masih terbilang aman, di bawah 60 persen. Namun begitu, dia mengkhawatirkan defisit anggaran yang hampir mencapai batas maksimal, di mana sekarang sudah mencapai 2,9 persen dari PDB 

Utang luar negeri yang sudah tidak sehat ini, ucapnya, bisa diukur dengan menggunakan indikator lain, yaitu rasio keseimbangan primer yang sudah negatif sejak 2013.

"Ini bukan hal yang bagus, karena itu artinya kita membayar utang dengan membuat utang yang baru. Istilahnya, gali lubang tutup lubang," tandas Riza. 

2 dari 2 halaman

Mungkinkah RI Bebas dari Utang Luar Negeri?

Utang pemerintah sampai dengan akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun. Realisasi utang pemerintah pusat tersebut naik signifikan sebesar Rp 76,14 triliun dibanding capaian per akhir Januari lalu yang sebesar Rp 3.958,66 triliun.

Nilai utang pemerintah sebesar Rp 4.034,8 triliun ini setara dengan 29,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Mengenai utang ini, banyak pihak yang menghawatirkannya, mengingat angkanya setiap saat terus meningkat.

Namun pada kenyataannya, dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 mengatur batas utang luar negeri tidak boleh melebihi 60 persen dari PDB. Dengan demikian, utang tersebut masih aman.

Meski begitu, mampukah Indonesia bisa terus berkembang tanpa ada utang luar negeri?

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider CH Siahaan mengatakan hal itu cukup memungkinkan. "Bisa saja Indonesia bebas utang, asal APBN kita itu surplus. Masalahnya sekarang, kan, masih defisit," kata dia di Gedung Bank Indonesia, Kamis (15/3/2018).

Kalaupun dalam beberapa tahun mendatang APBN Indonesia surplus, butuh waktu beberapa tahun untuk melunasi utang tersebut. Diilustrasikan, dengan utang sekitar Rp 4.000 triliun, jika APBN surplus sekitar Rp 500 triliun, maka butuh waktu delapan tahun untuk melunasi utang tersebut.

Selain berkurang, Scenaider juga membuka kemungkinan utang Indonesia masih terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Ini karena Indonesia masih menjadi negara berkembang yang butuh banyak pendanaan untuk pembangunan ekonominya.

Dia juga berpesan kepada beberapa pihak untuk tidak terlalu mengkhawatirkan utang saat ini. Dipastikannya pemerintah Indonesia tetap mengelola utang dengan cukup baik.

"Sederhananya kalau kita punya penghasilan Rp 40 juta per bulan kemudian kita punya utang dengan cicilan Rp 5 juta per bulan itu kan masih kecil, jadi ini hanya persoalan pengeloaan. Jadi jangan terlalu dikhawatirkan," dia menandaskan.