Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan Kamis pekan ini. Risalah dari Bank Sentral AS menjadi salah satu pendorong pelemahan dolar AS.Â
Mengutip Bloomberg, Kamis (22/3/2018), rupiah dibuka di angka 13.730 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.761 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.728 per dolar AS hingga 13.751 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 1,43 persen.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jidor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.737 per dolar AS. Patokan pada hari ini menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.759 per dolar AS.
Dolar AS memang merosot terhadap sebagian besar mata uang utama dunia pada perdagangan Kamis ini. Pelemahan dolar AS tersebut usai Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) mengindikasikan hanya akan menaikkan suku bunga tiga kali dalam tahun ini.
Sebelumnya, para pelaku pasar dan didukung oleh para pengamat memperkirakan the Fed akan menaikkan suku bunga empat kali di 2018 ini karena data-data ekonomi menunjukkan angka yang positif.
Pelemahan dolar AS juga karena Bank Sentral AS telah memberikan gamabran rencana kenaikan suku bunga di 2019 nanti. Dalam proyeksinya, otoritas moneter di AS ini juga hanya akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun depan.
"Tahun ini sepertinya tidak banyak kejutan di pasar keuangan. Semula sebagian besar menghadapkan Fed akan melanjutkan kebijakan normalisasi," jelas analis senior Barclays di Tokyo, Jepang, Shin Kadota.
Utang Swasta
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengaku tak terlalu khawatir dengan risiko pelemahan Rupiah terhadap utang swasta. Sepanjang Maret 2018, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS telah melemah 0,27 persen.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi menjelaskan, saat ini banyak perusahaan swasta yang sudah menjalankan ketentuan BI, tentang kewajiban bagi perusahaan yang memiliki utang luar negeri melakukan lindung nilai (hedging) minimal 25 persen.
"Hasil pantauan kami sudah lebih dari 90 persen perusahaan sudah comply dengan ketentuan tersebut, sehingga pelemahan rupiah ini tidak terlalu berisiko," ujar dia pada 14 Maret 2018.
Ketentuan BI ini sebenarnya sudah dikeluarkan pada pertengahan 2017. Hasilnya langsung dimanfaatkan perusahaan. Dalam ketentuan tersebut, BI mengimbau bagi perusahaan yang belum melakukan hedging harus segera menjalankannya.
Menurut Doddy, fluktuasi rupiah yang terjadi belakangan ini akibat sentimen dari rencana The Fed menaikkan suku bunganya dalam FOMC meeting 21 Maret 2018. Setelah itu, rupiah diperkirakan kembali ke level fundamentalnya.
Meski, kata dia, resiko fluktuasi rupiah masih terjadi ke depannya. Ini karena The Fed berencana menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali pada 2018.
Advertisement