Sukses

PPATK Akan Batasi Transaksi Tunai Maksimal Rp 100 Juta

pembatasan angka transaksi tunai dilakukan agar PPATK bisa lebih mudah dalam melacak transaksi keuangan yang mencurigakan jelang Pilkada 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) akan membuat batasan nominal transaksi tunai atau pembayaran langsung dengan uang kartal, yakni sebesar Rp 100 juta.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pembatasan angka transaksi tunai dilakukan agar mereka bisa lebih mudah dalam melacak transaksi keuangan yang mencurigakan jelang Pilkada 2018.

"Tentu dengan adanya pembatasan transaksi tunai, itu dengan sendirinya akan memudahkan aparat penegak hukum, PPATK dan lembaga pengawasan lain, untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) maupun TPPT (Tindak Pidana Pendanaan Terorisme)," tuturnya di Highland Park Resort, Bogor, Rabu (28/3/2018).

Dengan adanya batasan jumlah transaksi Rp 100 juta, ia menyatakan, itu akan mempermudah PPATK memvonis adanya pelanggaran pidana dalam melakukan transaksi tunai.

Dari sisi regulasi, dia menyampaikan, saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) soal pembatasan transaksi tunai ini. "Sebetulnya itu masuk dalam Prolegnas (program legislasi nasional) kita. Itu sudah selesai dan akan disampaikan kepada DPR," ujar Kiagus.

Dia berharap, RUU tersebut dapat selesai secepatnya. Ditargetkan, pada akhir 2018 ini kebijakan tersebut sudah bisa keluar.

"Kita berdoa (RUU pembatasan dana transaksi tunai) tahun ini selesai. Tentu dengan dukungan untuk memberikan semangat terhadap pihak terkait agar menyelesaikan itu," tandasnya.

2 dari 2 halaman

Waspadai Penggunaan Bitcoin

Sebelumnya, PPATK mewaspadai perkembangan bitcoin di Indonesia. Pasalnya, di dunia internasional, muncul dugaan jika mata uang virtual (virtual currency) tersebut digunakan sebagai sarana tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, saat ini pola tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme mulai marak memanfaatkan perkembangan teknologi informasi (IT). Sebab, para pelaku kejahatan tersebut terus mencari pola pengumpulan dana yang sulit untuk dideteksi oleh aparat penegak hukum.

"Pencucian uang itu, seperti halnya kejahatan lain, itu bisa memanfaatkan IT. Dan bisnis yang menggunakan IT apakah itu fintech, dan penggunaan virtual currency itu rawan disusupi itu. ‎Penjahat kan selalu mencari pola-pola, cara-cara. Jadi kalau semakin susah, semakin rumit, dia akan masuk ke situ," ujar dia.

Dia menyatakan, kini otoritas penegak hukum di berbagai negara mulai menemukan pola-pola pemanfaatan mata uang virtual seperti bitcoin dalam proses tindak pidana pemerasan, terorisme dan lain-lain. ‎

"Contohnya ada yang meminta hasil pemerasan dibayarkan melalui Bitcoin, itu orang susah mendeteksinya. Kemudian kemarin juga ada indikasi terorisme menggunakan itu. Itu Bitcoin juga digunakan. Secara prinsip peluang apa pun yang terbuka, itu pasti akan dipakai," kata dia.

Menurut Dian, meskipun Bank Indonesia (BI) telah secara tegas melarang penggunaan bitcoin di Indonesia, tidak menutup kemungkinan ada tindak kejahatan yang memanfaatkan mata uang virtual tersebut. Oleh sebab itu, PPATK dan aparat penegak hukum akan terus menelusuri hal ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: