Liputan6.com, Jakarta - Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu daerah dengan kontribusi terendah untuk Program Sejuta Rumah (PSR) sepanjang 2017, menurut data Realestat Indonesia (REI). Tahun lalu, realisaisnya hanya tercatat 362 unit rumah subsidi yang dibangun di daerah tersebut.
Ketua DPD REI D.I. Yogyakarta, Rama Adyaksa Pradipta mengungkapkan masalah lahan menjadi kendala utama pengembangan rumah subsidi di Yogyakarta. Stok lahan semakin terbatas menyebabkan harga tanah tidak memungkinkan lagi untuk dibangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Advertisement
Baca Juga
“Rata-rata harga tanah di Yogyakarta sekarang terendah itu Rp 500 ribu per meter persegi. Bahkan di Kulon Progo dan Gunung Kidul pun harga tanah sekarang sudah mahal. Ini jadi kendala serius (bangun rumah subsidi),” ungkap dia kepada Liputan6.com, Kamis (29/3/2018).
Padahal berdasarkan data REI, terdapat kekurangan pasokan (backlog) rumah secara kepemilikan sebanyak 252 ribu unit dan hunian sebesar 88 ribu unit. Sebuah angka kebutuhan yang cukup besar dan perlu percepatan supaya dapat terpenuhi sehingga masyarakat dapat tinggal di rumah layak huni.
Untuk itulah, REI Yogyakarta beserta pemerintah daerah dan stakeholder terkait telah membuat solusi baik untuk jangka pendek, maupun jangka menengah. Rencana jangka pendek yang akan dilakukan untuk mengurangi backlog adalah terus mencari lahan-lahan yang masih bisa untuk dibangun rumah tapak atau landed house.
Meski diakui Rama, lahan-lahan yang memungkinkan itu berada jauh di pinggiran kota dan konturnya pegunungan seperti Bantul dan Kulon Progo.
“Jadi tahun lalu itu sebenarnya banyak masyarakat yang mau beli, tetapi karena pengembang kesulitan cari lahan menjadikan pembangunan tidak maksimal. Faktor lain upah minimum rata-rata di Yogyakarta cukup rendah sehingga berpengaruh pada daya beli masyarakat,” papar Rama.
Bangun Hunian Vertikal 3-4 Lantai
Sementara untuk jangka menengah, REI akan berkolaborasi dengan pemerintah daerah, universitas, institusi, dan pemangku kepentingan terkait untuk mulai mengedukasi masyarakat Yogyakarta agar minat tinggal di rumah vertikal (rumah susun atau apartemen).
Rama menyadari bahwa untuk mengubah pola pikir masyarakat sangat sulit pada tahap awal, sehingga solusi jangka menengah ini akan mulai direalisasikan dengan membangun hunian low-rise sebelum membangun hunian dengan konsep high rise.
REI Yogyakarta mengkhawatirkan terjadinya gegar budaya jika langsung mengubah konsep tinggal di bangunan vertikal. Pihaknya berencana pada tahap awal lebih dahulu membangun rumah susun setinggi tiga atau empat lantai.
“Konsepnya sudah dibicarakan dengan pemda, dan mereka menyambut baik. Namun, belum bisa dimulai karena masih menunggu birokrasi yang belum selesai,” ungkap Rama.
Pembangunan hunian low rise ini akan sangat signifikan dalam mengatasi keterbatasan lahan. Targetnya, saat masyarakat sudah terbiasa dengan bangunan low rise, maka 5-10 tahun ke depan, masyarakat akan lebih mudah menerima konsep hunian high rise.
Lebih jauh Rama menjelaskan bahwa pemda juga akan membantu dalam penyediaan lahan, karena tidak mungkin backlog yang cukup tinggi di Yogyakarta akan selesai dengan mengandalkan swasta. Selain mengedukasi masyarakat, REI Yogyakarta juga terus menginsentifkan pelatihan dan sharing knowlegde di internal, sehingga pengembang di Yogyakarta semakin paham tentang pembangunan hunian baik tapak, low rise, dan high rise.
Tahun lalu, harga jual rumah MBR di Yogyakarta sebesar Rp 123 juta dan tahun ini naik menjadi Rp 130 juta per unit. Permintaan di segmen ini diprediksi bakal terus meningkat karena pangsa pasarnya adalah warga lokal.
Berbeda dari realisasi di segmen MBR yang sangat minim, pada 2017, pasokan rumah komersial justru tinggi mencapai 2.900 unit dengan kisaran harga Rp 500 juta hingga Rp 4 miliar per unit. Adapun segmen primadona, yakni rumah dengan harga di kisaran Rp 500 juta hingga Rp 800 juta per unit.
Advertisement