Sukses

Ingat, Telat Lapor SPT Pajak Bakal Kena Denda Rp 100 Ribu

Dua hari jelang batas pelaporan SPT Tahunan Pajak Tahun 2017, jumlah SPT yang telah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 9,2 juta SPT.

Liputan6.com, Jakarta - Masa penyampaian SPT Pajak Tahun 2017 untuk WP Orang Pribadi akan berakhir pada Sabtu, 31 Maret 2018. Artinya, waktu untuk bisa melaporkan tinggal dua hari lagi.

Lalu apa yang terjadi jika Wajib Pajak telat menyampaikan SPT Pajak Tahun 2017?

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, ada sanksi yang bakal diterima Wajib Pajak jika tak lapor SPT sampai batas waktu yang telah ditetapkan.

"Sanksinya kalau terlambat Rp 100 ribu," jelas dia seperti ditulis, Kamis (29/3/2018).

Hal senada juga disampaikan Kepala Seksi Hubungan Eksternal Subdit Humas Perpajakan Ditjen Pajak, Endang Unandar.

"Dendanya Rp 100 ribu kalau tidak sampaikan SPT pajak dan menunggu Surat Tagihan Pajak (STP)," ujarnya di kantor Liputan6.com.

Untuk diketahui, dua hari jelang batas pelaporan SPT Tahunan Pajak Tahun 2017, jumlah SPT yang telah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 9,2 juta SPT, atau 63,8 persen dari target pelaporan SPT tahun ini yang sebesar 14,4 juta SPT.

Jumlah pelaporan SPT tersebut tumbuh sekitar 12 persen dibandingkan pelaporan SPT pada periode yang sama tahun lalu.

 

2 dari 2 halaman

Lebih Bayar

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan tiga kebijakan di bidang perpajakan. Tiga kebijakan itu, antara lain percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), pedoman pemeriksaan bersama kontrak bagi hasil, dan penyederhanaan prosedur pembebasan pajak barang mewah. 

Kebijakan tersebut menindaklanjuti kritikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai ruwetnya proses restitusi hingga membuat frustasi para pengusaha di Indonesia.

"Dengan kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan kepastian hukum, memperbaiki kemudahan berusaha, serta mendorong efisiensi administrasi perpajakan," kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Kebijakan pertama, percepatan restitusi. Pemerintah memperluas kriteria wajib pajak (WP) yang berhak didahulukan atas restitusi pajaknya:

1. WP yang patuh membayar pajak

2. WP dengan nilai restitusi kecil

3. Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah.

"Dalam kebijakan baru ini, kelebihan pembayaran yang berhak mendapat restitusi dipercepat naik 900 persen," ucap Hestu Yoga.

Adapun perubahan nilai pengembalian kelebihan pembayaran atau restitusi pajak maksimum:

1. Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Non-Karyawan dari nilai restitusi maksimum Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta

2. PPh WP Badan dari nilai Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar

3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PKP dari nilai restitusi maksimum Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar.

Hestu Yoga menjelaskan, kategori PKP berisiko rendah diperluas yang kini mencakup eksportir mitra utama kepabeanan, dan eksportir operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator).

Selain itu, prosedur penelitian yang dilakukan Ditjen Pajak juga disederhanakan untuk mempercepat proses pemberian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Kebijakan restitusi juga dipercepat sebagai fasilitas khusus bagi WP yang memilikiriwayat kepatuhan baik, dan tingkat risiko yang relatif rendah terhadap penerimaan negara.

Pemberian fasilitas khusus ini memberi manfaat bagi arus kas perusahaan sehingga diharapkan mendorong WP untuk lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Menurut Hestu Yoga, kebijakan baru yang diumumkan kemarin (28/3) ditujukan agar lebih banyak lagi WP yang dapat memanfaatkan fasilitas restitusi dipercepat.

"Sehingga pada akhirnya akan meningkatkankemudahan berusaha dan mengurangi beban opportunity cost akibat proses pemeriksaan restitusi yang panjang dan memakan waktu lama," tegasnya.

Bagi pemerintah, kebijakan ini akan membebaskan sumber daya yang saat ini digunakan untuk pemeriksaan restitusi pajak sehingga dapat fokus pada upaya pengawasan atas WP dengan risiko tinggi.