Liputan6.com, Jakarta Inflasi Maret 2018 diperkirakan berada pada kisaran 0,15 persen-0,2 persen atau 3,4 persen (year on year). Inflasi ini cenderung lebih tinggi dibanding Maret 2017 lalu yang tercatat deflasi.
Pengamat Ekonomi Institute fo Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pada Maret 2018, komponen inflasi dari administered price disumbang kenaikan bahan bahar minyak (BBM) nonsubsidi.
"Sementara dari inflasi volatile food karena ada pergeseran panen jadi penurunan harga beras dipasar belum optimal. Impor beras juga baru dilakukan Bulog 50 persen dari komitmen 500 ribu ton beras," ujar dia di Jakarta, Senin (2/3/2018).
Advertisement
Dia menjelaskan, harga beras medium secara bulanan turun tipis Rp 150 per kg menjadi Rp 12.100 per kg. Daging ayam turun Rp 300 per kg menjadi Rp 31.850 per kg.
Namun, lanjut Bhima, komoditas cabai merah mencatat inflasi bulanan 7,16 persen menjadi Rp 43.350 per kg. Daging sapi juga naik 0,17 persen menjadi Rp 114.150 per kg.
"Tren inflasi pangan pada bulan Maret hingga Juni mendatang akan naik seiring faktor musiman jelang Lebaran," kata dia.
Sedangkan untuk inflasi inti, trennya masih akan rendah. Ini terlihat dari Januari-Februari 2018 di mana inflasi intinya hanya 0,31 persen dan 0,26 persen, lebih rendah dari inflasi Januari-Februari 2017 yakni 0,56 persen dan 0,37 persen.
"Rendahnya inflasi inti jadi cerminan dorongan inflasi dari sisi permintaan (demand pull inflation) masih rendah. Efeknya nanti ke konsumsi rumah tangga di kuartal I prediksinya hanya 4,7 persen-4,9 persen (yoy), tidak sampai 5 persen," jelas dia.
Menurut Bhima, inflasi inti yang rendah ini karena daya beli kelas menengah dan bawah melemah akibat kenaikan inflasi pangan, dan terlambatnya penyaluran bansos.
"Memang kalau dilihat secara porsi distribusi pengeluaran 20 persen kelompok teratas menguasai 46 persen total pengeluaran nasional. Artinya kelas atas yang berpengaruh signifikan dari konsumsi rumah tangga. Tapi dorongan untuk menunda belanja kelompok atas kelihatannya mulai turun," tandas dia.
Mantan Menkeu Yakin Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 5,4 Persen di 2018
Ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik di 2018, yakni bisa mencapai 5,4 persen.
"Dapat lah kalau 5 persen dapat. Masa tidak dapat. Kenapa pesimis? Perkiraan saya itu sekitar, 5,2 persen sampai 5,4 persen tahun ini," ungkapnya ketika ditemui di The Energy Building, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Pertumbuhan ekonomi tahun ini, kata dia, akan didukung kenaikan harga komoditas, seperti batu bara dan minyak sawit mentah.
Baca Juga
"Ekonomi kita itu sangat tergantung pada komoditi. Coal price-nya bagus. CPO bagus. Lihat tuh penerimaan pajak naik gara-gara coal price tuh. Kalau coal price sama palm oil price naik, company-nya jalan, orang yang hidup di sekitar tambang mulai dapat uang, konsumsi mulai naik, investment mulai pick up," tambah dia.
Melihat kondisi perekonomian yang kondusif, terutama harga komoditi yang tengah naik ini yang diyakini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih tinggi dari tahun kemarin.
"Jadi mestinya tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu. Makanya saya bilang kalau tahun lalu bisa 5,07 masa tahun ini kurang dari lima persen," imbuh dia.
Selain itu, kenaikan harga komoditas juga akan mendorong peningkatan konsumsi. Sebab, ada perbaikan pendapatan.
"Kalau income naik konsumsi naik. Begitu sekarang komoditi naik, yang pertama dia lakukan dia nggak bisa konsumsi, dia bayar utang dulu. Setelah bayar utang, dia bisa expand konsumsi," tutur Chatib.
Dia memprediksi bahwa perbaikan atau peningkatan konsumsi masyarakat akan terjadi pada pertengahan tahun ini.
"Saya expect kalau dilakukan tahun lalu, pertengahan tahun ini konsumsi mulai pick up," tandas dia.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement