Sukses

Siapkah RI Tinggalkan Premium?

Pemerintah harus menghentikan impor BBM jenis gasoline atau bensin dengan kadar Research Octane Number (RON) 88.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium sedikit demi sedikit mulai menghilang. Di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) pasokan Premium mulai berkurang. Selain itu, keberadaan Premium juga bakal hilang pada dua gelaran internasional, yaitu Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang serta dan pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank ‎2018 di Bali.

Lalu sudah siapkah Indonesia meninggalkan Premium?

Direktur Eksekutif RefoRminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, wacana penghentian penyaluran Premium bukan barang baru. Sebelumnya, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi atau tim Pemberantas Mafia Migas, sudah merekomendasikan untuk menyetop penyaluran Premium dalam dua tahun setelah rekomendasi tersebut dikeluarkan pada 2015.

Tim tersebut dibentuk Sudirman Said ketika ‎menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Adapun isi rekomendasi tersebut adalah, pemerintah harus menghentikan impor BBM jenis gasoline atau bensin dengan kadar Research Octane Number (RON) 88, menjadi RON 95. Adapun, solar dengan kadar sulfur 0,35 persen dengan Gasoil 0,25 persen.

Kalau berdasarkan rekomendasi tim mafia migas. Ini harusnya sudah dilakukan," kata Komaidi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (3/4/2018).

Komaidi mengungkapkan, sebenarnya untuk meninggalkan Premium Indonesia sudah bisa. Namun, memang harus dilihat kesiapan masyarakat serta mewaspadai terjadinya pro kontra.

‎"Dalam konteks itu sebenarnya ok saja tinggal dilihat kesiapan masyarakatnya pro kontra ada," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Daya Beli Tetap Stabil

Menurutnya, agar daya beli masyarakat tetap stabil, ketika kebijakan Premium dihilangkan perlu adanya jenis BBM pengganti dengan kualitas lebih baik. Harga BBM tersebut ‎harus tetap dikontrol pemerintah agar tetap terjangkau masyarakat.

"Kalau masyarakat diminta lebih tinggi saya sepakat. Kalau daya beli mungkin digeser ke Pertalite subsidi, jadi ketika Premium enggak ada digeser ke Pertalite. Kalau diserahkan ke pasar koorporasi ya enggak bisa," ucapnya.

Komaidi melanjutkan, di dunia tinggal empat negara yang masih menggunakan Premium, yaitu Indonesia, Bangladesh, dua negara di Afrika. Namun negara tersebut menggunakan Premium hanya untuk kendaraan Pertanian, bukan perkotaan.

"kalau lihat negara lain sudah pakai Euro 4 dan 5, itu sudah dilakukan hanya empat negara yang masih pakai Premium, Bangladesh Indonesia dan sejumlah negara Afrika rata-rata di daerah pertanian bukan perkotaan‎," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: