Sukses

Menperin Airlangga Minta Industri Serap Garam Lokal Meski Mahal

Selama ini yang menjadi masalah kurangnya penyerapan garam lokal oleh industri adalah disparitas atau perbedaan harga yang cukup tinggi.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mendorong agar kalangan industri bisa menyerap garam lokal. Selama ini yang menjadi masalah kurangnya penyerapan garam lokal oleh industri adalah disparitas atau perbedaan harga yang cukup tinggi.

Saat ini, garam lokal lebih mahal dari impor, sehingga banyak industri yang memilih garam impor. Karena masalah itulah, Kementerian Perindustrian berusaha mendorong industri supaya memakai garam lokal meski harganya mahal.

"Ya biar saja rakyat dapat harga tinggi. Itu bagus. Justru itu yang kami minta, industri untuk diserap. Jadi jangan turunkan harga yang rakyat dapatkan," ujar Airlangga usai memberikan arahan saat penandatangan MoU 10 perusahaan pengolahan garam, dan 100 petani garam, di kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis 5 April 2018.

Airlangga menegaskan bahwa disparitas harga itu tidak perlu diseimbangkan. Sebab pemerintah ingin para petani garam di seluruh penjuru negeri hidup sejahtera. Hasil panennya terserap semua dengan harga yang tinggi.

Kementerian Perindustrian menargetkan penyerapan garam hasil produksi dalam negeri oleh industri pada 2018 ini sebesar 1.430.000 ton.

Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam (AIPGI) Tony Tanduk membenarkan perbedaan harga tersebut. Adapun harga garam impor sekitar USD 50 atau setara Rp 689 ribu per ton. "Sedangkan untuk garam lokal para petani meminta Rp 3 juta per ton," tutur Tony.

Dia mengakui hal itu cukup berat. Namun, karena ingin turut menyukseskan program pemerintah, AIPGI akan mencoba menyerap garam lokal dari petani meski dengan harga lebih tinggi dari garam impor.

Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Garam dari Sumenep, Madura, Ubaid Doel Hayat mengatakan, saat ini para petani di daerahnya menjual garam ke industri sekitar Rp 2.300 hingga Rp 2.500 per kilogram atau Rp 2,3 juta sampai Rp 2,6 juta per ton.

"Memang awal-awal 2017 sampai Rp 3.000 ribu hingga Rp 3.500 per kilogram, karena ada anomali cuaca," ujarnya.

Ubaid menjelaskan, di Madura, jika cuaca normal bisa menghasilkan 90 ton sampai 100 ton garam per hektare. Ubaid berterimakasih kepada pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian. Sebab, dengan adanya nota kesepahaman yang ditandatangani, kepastian penyerapan garam lokal lebih terjamin.

"Pak menteri sendiri ingin meyakinkan keseriusan perusahaan pengolahan garam untuk penyerapan garam lokal," ucap Ubaid.

Kebutuhan garam nasional tahun 2018 diperkirakan mencapai 4,5 juta ton. Ini terdiri atas kebutuhan industri 3,7 juta ton dan konsumsi sebesar 800.000 ton. Sektor yang paling banyak menggunakan garam adalah industri klor alkali (CAP), kemudian industri farmasi, dan industri non cap seperti perminyakan, pengasinan ikan, kulit, tekstil, sabun. Industri pembuatan kertas juga menggunakan garam.

Reporter: Rohimat Nurbaya

Sumber: Merdeka.com