Sukses

Pemerintah Hapus Batas Keuntungan Minimal Penjualan Pertamax Cs

Kementerian ESDM akan menghapus batas keuntungan minimal penjualan BBM nonsubsidi.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah batas keuntungan badan usaha penjualan Bahan Bakar Minyak atau BBM non subsidi, seperti Pertamax Cs. Hal ini dilakukan agar sejalan dengan kebijakan penetapan kenaikan harga yang harus mendapat persetujuan pemerintah.

‎Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah akan meniadakan batas minimal pengambilan keuntungan penjualan BBM non subsidi yang sebelumnya dibatasi sebesar 5 persen. Sedangkan untuk patokan maksimalnya tetap 10 persen.

"Minimal 5 persen itu enggak ada lagi. Itu untuk jenis bahan bakar umum non avtur dan industri," kata Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (9/4/2018).

Terkait dengan penetapan kenaikan harga BBM non subsidi, Kementerian ESDM sedang membuat aturan untuk setiap kenaikan harga BBM non subsidi harus melalui persetujuan pemerintah.

"Pokoknya mereka akan meminta persetujuan ke kita. Persetujuan itu bukan penetapan harga harus segini, dia ajuin ke kita," tutur Arcandra.

Menurut Arcandra, hal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membuat harga BBM stabil, sehingga berujung pada pengendalian inflasi. Pasalnya, salah satu pemicu terjadinya inflasi adalah kenaikan harga BBM non subsidi.

"Nah ini pemerintah ingin agar inflasi terkendali. Untuk menstabilkan itu, salah satunya adalah menstabilkan harga BBM," tandas Arcandra.

2 dari 2 halaman

Bangun Kilang Lebih Efisien ketimbang Impor BBM

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memaparkan kepentingan untuk pembangunan kilang ke depan. Tambahan kilang tersebut untuk mendukung ketahanan energi nasional.

Arcandra mengatakan, kilang merupakan bisnis blue ocean bukan red ocean. Artinya, pembangunan kilang di Indonesia tidak mengganggu negara lain karena pasarnya ada di negara sendiri.

Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa Indonesia membutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM)sekitar 1,7 juta barel per hari (bph).

“Kita bikin kilangnya, kita tidak mengganggu karena untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri dalam rangka energy security,” kata Arcandra, di Jakarta, pada 26 Maret 2018. 

Arcandra menjelaskan, kapasitas kilang nasional saat ini sekitar 1 juta bph, namun hanya mampu mengolah minyak mentah sekitar 800 ribu bph, sedangkan produksi minyak mentah nasional ada di kisaran 800 ribu bph.

Namun, produksi minyak mentah tersebut harus dibagi dengan perusahaan pencari minyak atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKS), sehingga minyak bagian negara hanya 400 ribu bph.

"Sehingga untuk pengolahan di kilang kita masih butuh 400 ribu (bph) lagi dari impor,” papar Arcandra.

Dengan kebutuhan 1,6 hingga 1,7 juta bph produk minyak olahan atau BBM per harinya, menurut Arcandra, Indonesia masih kekurangan pasokan BBM sekitar 900 ribu bph.

“Perbedaan antara kalau kita impor (produk olahan) dengan produk kilang (sendiri) ini mencapai 5 persen. Kalau dihitung dari harga produk RON 92 di kisaran US$ 72-74 per barel, maka spread-nya sekitar US$ 3,5 per barel, sehari kira-kira US$ 3 juta, atau sekitar US$ 1 miliar setahun. Jadi, kalau mau bikin kilang atau impor, ya kilang,” paparnya.

Untuk mengurangi impor pemerintah melalui Kementerian ESDM saat ini memiliki komitmen dalam pembangunan kilang ini. diantaranya Refinery Development Master Plan(RDMP) yaitu meremajakan kilang-kilang eksisting agar kapasitas meningkat kilang tersebut Cilacap, Balongan, Balikpapan, dan Dumai.

"Kita bangun 2 kilang baru di Tuban dan Bontang,” ujarnya lagi.

Berbicara tentang ketahanan energi ini, kata Arcandra, memang membutuhkan pemikiran bersama dan kesadaran untuk mengakui bahwa kita memiliki permasalahan untuk kita selesaikan bersama.

“Kita harus bisa mendefinisikan problem statement. Lalu kita cari penyelesaianannya bersama-sama. Itu yang menjadi tugas bapak-bapak semua yang hadir di sini,” pungkas Arcandra.