Sukses

Menko Darmin: Utang RI Lebih Rendah dari Negara Layak Investasi Lain

Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai lembaga pemeringkat internasional Moody's Investor Service tak sembarangan beri penilaian termasuk soal utang.

Liputan6.com, Batam - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pengelolaan utang Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini membuat lembaga pemeringkat Moody's Investor Service menaikkan peringkat utang Indonesia.

Darmin mengungkapkan, di antara negara-negara dengan peringkat investment grade, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk yang paling rendah. Saat ini, rasio utang tersebut berada di bawah 30 persen terhadap PDB Indonesia.

"Dia juga bicara soal utang. Pertama, antara negara-negara investment grade, Indonesia itu negara yang paling rendah utangnya terhadap PDB-nya, di bawah 30 persen. Sementara yang di sana 39 persen atau 35 persen. Pokoknya mereka bilang di bawah rata-rata negara yang investment grade,” ujar Darmin, di Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (14/4/2018).

"Karena dianggap cukup, ke depannya mereka masih percaya utang pun komentarnya sangat positif," kata dia.

Darmin menuturkan, lembaga pemeringkat internasional seperti Moody's tidak akan sembarangan memberikan penilaian terhadap sebuah negara. Lembaga itu mempertaruhkan reputasinya saat memutuskan untuk menaikkan peringkat sebuah negara, termasuk bagi Indonesia.

‎"Lembaga rating yang besar itu selalu mempertaruhkan reputasi mereka kalau menaikkan rating suatu negara. Itu dia sudah dikaji dalam-dalam dan dia sudah datang ke sini untuk mengeceknya. Jadi kita sudah duduk dan melakukan kajian dengan menteri dan BI (Bank Indonesia) atas dasar evaluasi data, informasi dan lain-lain. Itu data sekunder juga, mereka yang menentukan apakah kita naik atau tidak," ujar dia.

Dalam penilaiannya, kata dia, Moody's percaya dengan upaya pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan fiskal dan moneternya.

Oleh sebab itu, Darmin mengaku heran jika ada pihak-pihak yang masih tidak percaya soal kondisi ekonomi dan utang Indonesia yang terus membaik.

"Secara moneter dia bilang apa saja? Cukup punya kemampuan adaptif terhadap situasi sehingga punya ketahanan moneter. Artinya cukup resilient artinya bisa dikendalikan,” ujar Darmin.

Ia menambahkan, Moody’s juga menilai kalau Indonesia punya kemampuan adaptif terhadap situasi termasuk di fiskal. Tak hanya itu Moody’s juga melihat kemampuan di sektor riil dan sebagainya. 

“Artinya apa? Paling tidak yang bisa kita katakan adalah lembaga rating internasional saja percaya. Aneh kalau ada orang yang tidak percaya," tandas dia.

2 dari 2 halaman

Dampak Kenaikan Peringkat Utang Terhadap Ekonomi RI

Sebelumnya, langkah Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi Baa2 dengan prospek positif dinilai akan menurunkan biaya utang pemerintah Indonesia dalam jangka pendek.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Joshua Pardede menuturkan, kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Moody’s akan berdampak positif untuk pembiayaan pinjaman pemerintah Indonesia. Kenaikan peringkat utang Indonesia dapat menurunkan credit default swap (CDS). CDS ini merupakan indikator fundamental dan patokan persepsi risiko berinvestasi.

“Berharap upgrade (peringkat utang Indonesia), CDS akan turun,” ujar Joshua saat dihubungi Liputan6.com, Jumat  13 April 2018.

Selain itu, Joshua menuturkan, biaya utang pemerintah juga diharapkan lebih ringan. Ini mengingat imbal hasil obligasi pemerintah akan turun. Diharapkan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun sekitar 10 basis poin-20 basis poin dalam jangka pendek.

Akan tetapi, Steven mengingatkan euforia kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Moodys menjadi terbatas. Hal itu mengingatkan ada potensi peningkatan defisit transaksi berjalan pada kuartal I 2018. Defisit neraca perdagangan kemungkinan besar akan tembus USD 1 miliar pada kuartal I 2018.

PT Ashmore Assets Management melihat kecuali ada pembalikan besar untuk neraca perdagangan. Defisit perdagangan dua persen pun dinilai sulit untuk dicapai. Apalagi ada kenaikan impor lebih besar karena kenaikan barang modal untuk investasi dan ada peningkatan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sedangkan Joshua melihat, tantangan yang dihadapi Indonesia meski ada kenaikan peringkat utang  Indonesia yaitu arah kebijakan suku bunga oleh bank sentral. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga sekitar 50 basis poin pada 2018.

Hal tersebut juga akan diikuti negara berkembang. Joshua menuturkan, investor akan melihat seberapa cepat the Federal Reserve menaikkan suku bunga. Namun, Joshua memperkirakan, Bank Indonesia (BI) masih akan tetap pertahankan suku bunga acuan 4,25 persen.

Faktor eksternal lainnya seperti kondisi geopolitik dan perang dagang juga mempengaruhi kondisi pasar keuangan Indonesia. Dari dalam negeri, Joshua mengatakan, dampak kenaikan harga minyak dan subsidi energi menjadi sorotan oleh lembaga pemeringkat internasional.

Ia menilai, kenaikan harga minyak dunia dapat positif untuk penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sangat berhati-hati menjaga fiskal sehingga menjadi sentimen positif. "Kekhawatiran pelaku pasar tidak akan terbukti karena pemerintah juga sangat prudent di sektor fiskal," kata dia.

 

 Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: