Sukses

INDEF: Lebih dari 60 Persen Bahan Baku Industri Makanan RI Masih Impor

Saat ini ketergantungan impor kian bergeser ke pemenuhan kebutuhan pangan pokok.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti masalah tingginya impor pangan di Indonesia. Padahal sejatinya Indonesia dikenal dengan julukan negara agraris atau negara pertanian. Ironisnya, hingga saat ini berbagai kebutuhan pangan masyarakat masih "perlu" didatangkan dari luar negeri atau impor.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan saat ini ketergantungan impor kian bergeser ke pemenuhan kebutuhan pangan pokok.

Tidak hanya sekadar lonjakan impor gandum yang notabene memang tidak mampu diproduksi di iklim tropis. Namun impor mulai dari gula, kedelai, bawang putih, daging, beras dan yang lain juga mengalami peningkatan.

"Bahkan, bahan baku industri makanan pun lebih dari 60 persen harus dipenuhi dari impor. Sekalipun sampai akhir 2017 neraca perdagangan sektor pertanian masih mencatat surplus, namun itu hanya karena berkah sektor perkebunan yang surplus mencapai USD 26,7 miliar," kata Enny di kantornya, Rabu (18/4/2018).

Sementara itu, neraca perdagangan tanaman pangan defisit USD 6,23 miliar, hortikultura defisit USD 1,79 milar, dan peternakan defisit USD 2,74 miliar.

"Artinya, sektor pangan bukannya semakin menuju pada kemandirian, justru semakin menyandarkan kecukupan pasokan pangan dari impor. Upaya menjaga stabilitas harga pangan lebih didominasi kebijakan importasi, dibanding implementasi strategi pembangunan pertanian menuju bangsa mandiri pangan," kata dia.

Ia melanjutkan, jika kebijakan impor pangan ini tak bisa diminimalkan, cita-cita kemandirian pangan akan sulit terlaksana.

 

Reporter: Yayu Agustini

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 2 halaman

Kuras Devisa Negara

Dalam kesempatan serupa, salah satu peneliti INDEF, Ahmad Heri, mengatakan bahwa sektor pertanian dengan impornya yang tinggi sangat menguras kantong devisa negara.

"Sektor pertanian ini benar-benar membuang devisa negara. Kontribusi ekspor kecil malah kontribusi impornya semakin besar," ujarnya.

Ia mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir rata-rata ekspor sektor pertanian tidak lebih dari 8 persen. Sementara impor terutama sayuran dan buah-buahan pertumbuhannya sangat masif terutama dalam tiga tahun terakhir ini.

"Kita keluar (ekspor pertanian) susah tapi begitu mudahnya masuk ke dalam (impor). Kita cuma unggul di produk kelapa sawit, yang lain semua rata-rata di bawah," dia menandaskan.