Sukses

Tingginya Impor Pangan Bisa Bikin Rupiah Terkapar

Sudah banyak bukti bahwa negara yang bersungguh-sungguh membangun kemandirian pangan lebih mampu mengendalikan inflasi dan stabilitas mata uang.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economic (Indef) mengingatkan bahwa kemandirian pangan sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto mengatakan, sudah banyak bukti bahwa negara yang bersungguh-sungguh membangun kemandirian pangan lebih mampu mengendalikan inflasi dan stabilitas mata uang.

"Terus membesarnya impor pangan akan berakibat pada rentannya stabilitas perekonomian, khususnya inflasi dan nilai tukar," kata Eko di kantornya, Rabu (18/4/2018).

Lebih parah lagi, jika ketergantungan impor pangan tidak segera disudahi maka akselerasi pertumbuhan ekonomi kian sulit terealisasi.

Dalam pandangan Eko, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan inflasi tidak hanya cukup dengan mengotak-atik suku bunga. Namun harus juga menjaga stabilitas pangan dengan cara mengurangi impor.

Sebab, saat ini ekspor Indonesia masih rendah. Sementara impornya masih tinggi sehingga pendapatan yang minim dari ekspor langsung habis terpakai untuk impor.

Tingginya impor bisa mengakibatkan Rupiah terdepresiasi sebab pembayarannya harus menggunakan valas yang tentu akan berpengaruh pada nilai tukar Rupiah.

"Hasil devisa sebagian harus keluar lagi untuk membeli pangan. Ekspor rendah, sudah susah-susah ekspor harus keluar lagi buat beli beras. Beli beras gak bisa pakai Rupiah. Akhir tahun akan semakin kelihatan impact ke nilai rupiah," tutur dia.

Salah satu peneliti Indef, Ahmad Heri mengatakan bahwa sektor pertanian dengan impornya yang tinggi sangat menguras kantong devisa negara.

"Sektor pertanian ini benar-benar membuang devisa negara. Kontribusi ekspor kecil malah kontribusi impornya semakin besar," ujarnya.

Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor sektor pertanian tidak lebih dari 8 persen. Sementara impor terutama sayuran dan buah-buahan pertumbuhannya sangat masif terutama dalam 3 tahun terakhir ini.

"Kita keluar (ekspor pertanian) susah tapi begitu mudahnya masuk ke dalam (impor). Kita cuma unggul di produk kelapa sawit, yang lain semua rata-rata di bawah," kata dia

Reporter: Yayu Agustini

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Peringkat Utang RI Naik Kelas tapi Rupiah Masih Loyo, Kok Bisa?

Kenaikan peringkat utang atau kredit Indonesia oleh Moody's Investor Service belum mampu mengangkat rupiah secara signifikan. Data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR, kurs rupiah masih berada di level 13.770 per dolar Amerika Serikat (AS).

Menanggapi hal tersebut, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, belum menguatnya nilai tukar rupiah bukan hanya dipengaruhi oleh sisi internal, melainkan juga eksternal. Salah satunya soal rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali pada tahun ini.

"Rupiah belum begitu menguat tentunya karena kondisi eksternalnya sendiri masih ada. Artinya tetap ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate tiga kali masih ada. Pasar terus menghitung itu. Tentunya yang harus dilihat adalah pelemahan berlanjut dan rupiah tertahan," ujar dia di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Namun demikian, lanjut Dody, kenaikan peringkat dari Moody's merupakan angin segar bagi Indonesia. Dirinya meyakini hal ini akan membantu membawa rupiah kembali menguat secara bertahap.

‎"Dengan menerima kenaikan rating, kenaikan satu note di investment grade itu membantu nanti secara bertahap rupiah menguat. Jangan dilihat bahwa langsung segera menguat, tapi rupiah bisa tertahan stabil di level 13.700 - 13.750 itu suatu prestasi," kata dia.

Sementara terkait kekhawatiran rupiah akan terus tertekan dengan rencana The Fed menaikkan suku bunga, Dody mengaku, BI akan terus melakukan antisipasi agar nilai tukar rupiah tetap terkendali dan stabil sepanjang tahun ini.

"Kita akan terus jaga. Artinya, sampai dengan akhir 2018, kita tetap menghitung nilai tukar rupiah sebagai salah satu risiko yang harus kita cermati," tandas dia.

Video Terkini