Sukses

Harga Jual Listrik Masih Mahal, RI Belum Lirik Bangun Pembangkit Nuklir

Pemerintah menyatakan Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih tinggi.‎

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah belum melirik nuklir sebagai sumber ‎energi listrik. Alasannya, Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih tinggi sehingga berpengaruh terhadap harga jual listriknya. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)‎ Arcandra Tahar mengakui, ada ajakan untuk Indonesia menggunakan nuklir, sebagai sumber energi pembangkit yang menghasilkan listrik dengan membangun PLTN.

"Banyak yang mengatakan mari nuklir," kata Arcandra dalam sebuah diskusi, di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta, Kamis (19/4/2018).

Namun ajakan tersebut tidak langsung diterima. Dia pun membandingkan harga listrik yang dijual dari PLTN. Dari data di lapangan, rata-rata harga listrik dari PLTN mencapai US$ 14 sen per kilo Watt hour (kWh), jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sekitar US$ 6 hingga US$ 7 sen per kWh.

"Sebagian mungkin salah persepsi, nuklir bisa di US$ 6-7 sen per kWh, tidak. Pembangkit listrik nuklir itu bisa US$ 14 sen per kWH. Ini data di lapangan," paparnya.

Menurut Arcandra, harga listrik dari pembangkit nuklir masih lebih mahal ketimbang Energi Baru Terbarukan (EBT). Sementara pemerintah saat ini sedang berupaya membuat tarif listrik semakin terjangkau. Sebab itu, ‎pemerintah mengatur harga EBT semakin kompetitif, dengan menerapkan kebijakan harga jual listrik dari pembangkit EBT.

Yaitu 85 persen dari rata-rata BPP listrik nasional, untuk jenis Pembangkit Listrik Tanaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air laut.

Selain terbentur harga listrik yang lebih mahal, pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi listrik, dengan membangun PLTN masih menghadapi tantangan.

"Coba lihat mana yang lebih murah pembangkit nuklir atau EBT. Belum lagi kita punya challenges di nuklirnya," tandas Arcandra. 

2 dari 2 halaman

Butuh Biaya Rp 70 Triliun untuk Bangun PLTN di RI

Pemerintah mesti mengeluarkan biaya investasi sekitar Rp 70 triliun untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun, hingga saat ini pemerintah belum memutuskan untuk membangun pembangkit listrik tersebut.

Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto menerangkan, nominal Rp 70 triliun tersebut mengacu pada pembangunan PLTN di Uni Emirat Arab.

"Untuk membangun bangun PLTN contoh Uni Emirat Arab itu membutuhkan Rp 70 triliun untuk 1 PLTN berdaya 1.400 MW," kata dia dalam acara Teknologi Nuklir Modern: Workshop untuk Media di Jakarta, Selasa (11/10/2016).

Dia mengatakan, harga jual listrik dari PLTN cukup kompetitif. Hal itu berdasarkan perhitungan PT PLN.

"Harga listrik PLN pernah hitung 6-8 sen dolar per kwh jadi mungkin cukup kompetitif," tambah dia.

Dia menerangkan, terkait kesiapan membangun PLTN, Indonesia telah memiliki modal. Modal itu berupa perguruan tinggi yang memiliki pembelajaran soal nuklir. Sebut saja Universitas Gadjah Mada (UGM), Intitut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI).

Terkait wilayah, dia bilang Batan telah melakukan studi di beberapa daerah Indonesia. Salah satu acuan tempat yang layak untuk pembangunan PLTN ialah wilayah tersebut harus minim potensi gempa.

"Yang sudah dilakukan studi tapak itu Jepara, Bangka. Yang punya keinginan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Otoritas Batam," imbuh dia.

Dari sisi teknologi, dia menuturkan Indonesia bisa mengadopsi dari beberapa negara lain yang telah memiliki PLTN.

"Dari sisi lokasi kita sudah melakukan studi tapak di beberapa lokasi, tinggal pilih mana, dari sisi teknologi otomatis bisa adopsi Rusia, Jepang, Korea, Tiongkok atau Amerika," tukas dia.