Sukses

Pengusaha Ungkap Sebab Masih Impor Bahan Baku Kemasan Plastik

Pengusaha menjelaskan, kontribusi PET dalam bahan baku makanan dan minuman cukup besar sehingga PET mutlak harus dipenuhi kebutuhannya.

Liputan6.com, Jakarta Industri makanan dan minuman dalam negeri saat ini masih mengandalkan produk impor untuk bahan baku kemasan plastik dan botol yaitu PET. Padahal, produksi PET dalam negeri cukup melimpah bahkan ekspornya lumayan tinggi.

Juru bicara Forum Lintas Asosiasi lndustri Makanan dan Minuman (FLAIMM), Rachmat Hidayat mengatakan saat ini para pelaku industri juga memakai PET produksi dalam negeri, namun tidak mencukupi.

"Kebutuhan PET 200 ribu ton per tahun, 55 hingga 60 persen masih harus diimpor. Harga impor itu ikuti harga dunia kisaran USD 1.600 per ton," kata dia dalam sebuah acara diskusi di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (19/4/2018).

Rachmat menjelaskan, kontribusi PET dalam bahan baku makanan dan minuman cukup besar sehingga PET mutlak harus dipenuhi kebutuhannya. "Problem-nya kami harus menggunakan itu (PET), enggak ada alternatif lain selain PET," ujar Rachmat.

Para pelaku industri dalam negeri terpaksa harus melakukan impor sebab PET produksi dalam negeri sebagian besar justru malah diekspor dengan harga jauh lebih murah dengan harga beli PET impor.

"Logikanya, kami enggak akan impor kalau ada di dalam negeri, kalau kualitas dan harganya relatif sama. Tapi pertimbangan membeli enggak hanya harga, tapi juga kualitas lalu juga kepastian keandalan," dia menambahkan.

Rachmat mengungkapkan produsen PET dalam negeri menjual PET kepada mereka dengan harga yang sama dengan PET impor yakni USD 1.600 per ton. Sementara mereka mengekspor PET produksi mereka ke luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah kisaran USD 1.300 per ton.

Rachmat mengungkapkan, produksi PET dalam negeri mencapai 449 ton ton. Angka tersebut harusnya mampu mencukupi kebutuhan PET dalam negeri sebesar 200 ribu ton.

"Sementara kami masih harus mengimpor 55 - 60 persen berarti ya sekitar 120 ribu, mayoritas impor. Berarti dari 449 ribu ton mayoritas diekspor, PET Indonesia raksasa dunia," dia menandaskan.

2 dari 2 halaman

Impor PET Bakal Kena Bea Masuk, Harga Makanan Jadi Lebih Mahal

Kalangan lndustri makanan dan minuman menilai putusan pemerintah dalam penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan plastik akan menyebabkan guncangan terhadap industri makanan dan minuman yang menjadl sandaran ekonomi Indonesia.

Juru bicara Forum Lintas Asosiasi lndustri Makanan dan Minuman (FLAIMM), Rachmat Hidayat mengatakan, kebijakan tersebut memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding positifnya.

"Usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk mengenakan pajak antara lima persen hingga 26 persen terhadap bahan baku plastik kemasan selama lima tahun akan berdampak secara langsung terhadap industri yang pada akhirnya akan melakukan langkah efisiensi,”kata Rachmat dalam sebuah diskusi di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (19/4/2018).

Efisiensi tersebut, lanjutnya akan membuat harga makanan dan minuman berkemasan menjadi mahal. Rachmat mengungkapkan, saat ini petisi telah diajukan oleh Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Polyethylene therephthalate (PET) yang diduga dumping dari China, Korea Selatan dan Malaysia.

HasiI investigasi KADI menyatakan ketiga negara tersebut terbukti dumping sehingga diperlukan kebijakan BMAD sebanyak 5 persen hingga 26 persen.

Sementara itu, lanjutnya, dari sisi hukum, jika pengenaan BMAD tersebut diterapkan oleh pemerintah, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana justru tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

"Pihak petisioner tidak memiIiki legal standing berdasarkan Pasal 1 ayat (17) PP No. 34 Tahun 2011 karena terbukti berafiliasi dengan eksportir produsen barang yang diduga dumping serta melakukan importasi atas barang dan negara yang diduga melakukan dumping tersebut," ujarnya.

Menanggapi rekomendasi KADI, Rachmat menyatakan jika BMAD diberlakukan, hal ini akan memberatkan industri makanan minuman yang menyumbang pertumbuhan ekonomi melalui pajak, devisa hasil ekspor, investasi dan penyerapan tenaga kerja.

"Bahkan saat di tengah perlambatan ekonomi pun, neraca perdagangan produk makanan dan minuman sanggup mencatatkan tren positif. Tahun 2016, industri makanan dan minuman sanggup mencatatkan nilai ekspor setara USD 263 miliar atau surplus USD 163 miliar,” ujar Rachmat.

Rachmat menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri makanan dan minuman merupakan penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor non migas terbesar yaitu 34,34 persen dengan serapan tenaga kerja lebih dari 4 juta orang pada 2017.

"Itu belum termasuk multiplier effect industri makanan minuman yang rata-rata mencapai empat kali Iipat sejak hulu hingga hilir,” ujar dia.

Melihat capaian kinerja yang secara konsisten, tidak mengherankan jika industri makanan dan minuman ditempatkan pemerintah dalam urutan teratas industri prioritas nasional dalam Rancangan Pengembangan lndustri Nasional 2015-2035.

Meski demikian, industri ini juga mengalami tantangan yang sangat besar yaitu menurunnya daya beli masyarakat dan kepastian bahan baku untuk industri di tengah derasnya arus perdagangan bebas yang telah disetujui pemerintah.