Sukses

Pertamina Punya Direksi Baru, Nelayan Minta Perbanyak Pasokan Solar

Selama ini banyak nelayan tradisional yang masih kesulitan mendapatkan solar bersubsidi.

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) diminta menambah jumlah depot penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bersubsidi bagi nelayan tradisional. Hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi direksi baru BUMN minyak dan gas (migas) tersebut.

Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, mengatakan selama ini banyak nelayan tradisional yang masih kesulitan mendapatkan solar bersubsidi.

Padahal, seharusnya para nelayan tersebut berhak mendapatkan BBM subsidi jenis solar seperti yang telah diatur pemerintah.

"Program pemerintah ini belum mengena sasaran terkait solar subsidi ini," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (23/4/20818).

Dia mengungkapkan, sulitnya nelayan mendapatkan solar bersubsidi karena minimnya jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), sedangkan lokasi tersebar di berbagai daerah dan muara.

"Karena nelayan tradisional kan tersebar di berbagai muara, sementara SPBN yang menyediakan solar subdisi hanya di muara-muara yang besar. Di muara itu ada ratusan, bahkan ribuan perahu," ucap dia.

Oleh sebab itu, menjadi pekerjaan rumah bagi Pertamina dan juga pemerintah untuk lebih banyak membangun SPBN. Jika investasinya terlalu mahal, maka setidaknya Pertamina menyediakan lebih banyak depot sebagai penyalur solar bersubsidi bagi nelayan.

"Harusnya Pertamina yang menyediakan depot, entah depotnya pakai tangki atau bagaimana, yang jelas bagaimana masyarakat bisa mendapatkan solar subsidi. Itu menjadi PR pemerintah dan Pertamina untuk mengatasi masalah itu," kata dia.

 

2 dari 2 halaman

Pengamat Minta Jangan Hapus Dulu Premium, Kenapa?

Pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan, termasuk menggencarkan penggunaan BBM yang memenuhi standar Euro 4, agar kualitas udara lebih sehat.

Sesuai amanat Peraturan Menteri (Permen) LHK No 20/Setjen/Kum.1/3/2017 pada 10 Maret 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, Indonesia seharusnya menerapkan standar emisi Euro 4 untuk kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi berbahan bakar bensin, mulai 10 Oktober 2018.

Pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi, justru mengatakan sebaiknya Premium jangan dulu dihapuskan. Sebab, penggunaan Premium oleh masyarakat masih tinggi.

Upaya untuk menarik Premium dari peredaran nampak dari munculnya Pertalite. Sayangnya, harga Pertalite yang tinggi justru menyebabkan perbedaan harga yang jauh antara Pertalite dan Premium. Ini kemudian membuat masyarakat kembali ke Premium.

"Dulu saya setuju Premium dihapus ada jangka waktu dua tahun, ada tahapan yang harus dilalui, termasuk membuat pertalite jadi sebagai bridging. Tapi kalau  Pertalite harganya naik, selisih cukup besar, maka tujuan Pertalite sebagai bridging itu gagal. Karena gagal, maka dia kembali lagi ke Premium," ujar dia ketika ditemui di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).

"Dulu sudah cukup besar (masyarakat yang beralih) ke Pertalite, harga naik, mereka kembali. Dengan jumlah yang masih cukup besar, maka kalau kemudian (Premium) dihapus, yang terjadi adalah resistensi. Perlawanan yang menimbulkan keresahan sosial," lanjut dia.

Selain itu, dia mengatakan kilang milik Pertamina pun belum mampu menghasilkan bahan bakar minyak berstandar Euro 4. Jika demikian, penggunaan Euro 4 malah mengharuskan impor dinaikkan.

"Kalau tidak semua impor. Kalau begitu tidak ada artinya. Atas nama Euro 4, valuta asing kita habis, rupiah kita lemah, hanya semata-mata Euro 4. Saya rasa itu tidak benar juga," tegas dia.

"Kebutuhan jadi besar. Dengan dihapus Premium orang akan pindah, maka ini membengkak. Jadi sejauh mana Pertamina mampu menyediakan yang diolah dari kilangnya sendiri," tutur dia.

 Tonton Video Ini:

  • Pertamina merupakan salah satu perusahaan BUMN yang bertugas mengelola pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia.

    Pertamina

  • nelayan