Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus terombang-ambing terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan kemarin, kurs mata uang Garuda mendekati Rp 14.000 per dolar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, ada enam penyebab kurs rupiah terus tertekan melawan dolar AS.
Advertisement
Baca Juga
Pertama, menurutnya, investor berspekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Fund Rate pada rapat FMOC tanggal 1-2 Mei ini. Spekulasi ini membuat capital outflow (aliran dana keluar) di pasar modal mencapai Rp 7,78 triliun dalam satu bulan terakhir.
"Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat The Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," kata Bhima saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/4/2018).
Penyebab kedua, sambungnya, harga minyak mentah diprediksi naik lebih dari US$ 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian perang dagang AS dan China.
"Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga bbm nonsubsidi (Pertalite, Pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar," ujarnya.
Inflasi dari pangan, diakui Bhima, juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam satu bulan terakhir.
Ketiga, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar AS.
"Keempat, importir lebih banyak memegang dolar AS untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," jelas Bhima.
Â
Faktor Lain
Lebih jauh, kata Bhima, penyebab kelima kurs rupiah melemah karena defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar. Perkiraannya hingga 2,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik," terangnya.
Terakhir, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I- 2018 juga diperkirakan tidak akan mencapai 5,1 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen dan data penjualan ritel yang turun pada kuartal I.
"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen," Bhima memungkasi.
Advertisement