Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih melanjutkan tren pelemahan. Bahkan di beberapa pasar uang, rupiah telah diperdagangkan di angka 14.000 per dolar AS.
Bank Indonesia menganggap depresiasi rupiah itu murni dipengaruhi sentimen global, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Dua hal yang menjadi sentimen, yaitu meningkatnya imbal hasil obligasi AS dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang pada tahun ini diperkirakan akan terjadi sebanyak tiga kali.
"Kenaikan yield dan suku bunga di AS itu sendiri dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yg terus membaik dan tensi perang dagang antara AS dan China yang berlangsung selama tahun 2018 ini," kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo, Selasa (24/4/2018).
Advertisement
Sejalan dengan itu, pada Senin kemarin semua mata uang negara maju kembali melemah thd USD, antara lain Jepang JPY -0,25 persen, Swiss CHF -0,27 persen, Singapur SGD -0,35 persen, dan Eropa EUR -0,31 persen.
Agus menegaskan, dalam periode yg sama, mayoritas mata uang negara emerging market, termasuk Indonesia, juga melemah.
"Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar," tambah Agus.
Disebutkan Agus, rupiah yang pada Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70 persen, pada Senin hanya melemah -0,12 persen.
Angka ini lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti Filipina PHP -0,32 persen, India INR -0,56 persen, Thai THB -0,57 persen, Meksiko MXN -0,89 persen, dan Afrika Selatan ZAR -1,06 persen.
Gambaran serupa juga tampak dalam periode waktu yang lebih panjang. Dengan dukungan upaya stabilisasi oleh BI, sejak awal April (mtd), rupiah melemah -0,91 persen, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti THB -1,04 persen, INR -1,96 persen, MXN -2,76 persen, ZAR -3,30 persen.
Demikian pula, sejak awal 2018 (ytd) rupiah melemah -2,35 persen, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti BRL -3,06 persen, INR -3,92 persen, PHP -4,46 persen, dan Turkey TRY -7,17 persen.
Rupiah Keok Dihajar Dolar AS, Apa Dampaknya ke Industri dan Utang RI?
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tentu membawa dampak bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, mata uang Garuda diprediksi akan terus merosot ke level Rp 14 ribu per dolar AS hingga akhir tahun ini.
"Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut dan tembus Rp 14.000 hingga akhir 2018," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/4/2018).
Menurut dia, kondisi pelemahan kurs rupiah memengaruhi tiga hal. Pertama, sambung Bhima, neraca perdagangan terancam kembali defisit karena biaya bahan baku impor meningkat.
Baca Juga
"Beberapa industri seperti tekstil, farmasi, besi baja yang sebagian besar bahan bakunya bergantung impor akan terkena imbas paling besar," ujarnya.
Dampak kedua, dia menambahkan, risiko gagal bayar swasta meningkat. Swasta harus membayar dengan dolar AS, sementara pendapatannya diperoleh menggunakan mata uang rupiah. Selisih kurs berisiko mengganggu keuangan perusahaan swasta. Apalagi tidak semua utang luar negeri swasta di hedging (lindung nilai).
Sedangkan ketiga, Bhima menjelaskan, untuk efek ke utang pemerintah, pelemahan rupiah membuat kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dalam bentuk valas akan membesar. Ruang fiskal akan semakin sempit, dalam jangka panjang defisit keseimbangan primer membengkak.
"Untuk antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia, selain menggunakan cadangan devisa, perkiraan saya juga akan menaikkan 7-days repo rate 25-50 bps di semester II-2018," tandas Bhima.
Advertisement