Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Mandiri Tbk mengatakan anjloknya nilai tukar rupiah tidak akan berpengaruh langsung kepada perbankan khususnya perseroan. Namun, pelemahan rupiah akan berdampak jika berlangsung lama.
"Kalau kinerja mandiri secara langsung tidak (terpengaruh) karena kita kan secara disiplin menjaga supaya posisi kita kecil, jadi kita tidak bikin posisi currency exposure yang tinggi," kata Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo di kantornya, Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Tiko, begitu dia disapa, menilai saat ini Indonesia sudah lebih siap menghadapi fluktuasi rupiah dibanding 10Â tahun atau 20 tahun yang lalu.
Advertisement
Â
Baca Juga
"Dibanding situasi 1998 dan 2008 harusnya sudah makin baik ya, enggak seperti tahun 1998 atau 2008, itu rasanya kita sudah semakin siap pada fluktuasi currency," ujarnya.
Jika rupiah merosot dalam waktu lama, lanjutnya, dampak negatif akan menimpa nasabah.
"Cuma memang kalau berkepanjangan memang akan ada dampak ke nasabah. Nasabahnya terutama yang memang punya bisnis bergantung dari impor bahan baku yang harus menggunakan dolar AS," ujarnya.
Sementara itu, kata Tiko, nasabah yang melakukan ekspor akan diuntungkan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Karena nasabah-nasabah yang seperti batu bara, sawit, ongkosnya rupiah malah jualnya di dolar, jadi malah beberapa segmen tertentu sebenarnya tambah profit karena dia kan jualnya ekspor semua," ujarnya.Â
"Jadi sebenarnya kalau rupiah melemah itu ada yang rugi, tapi ada yang untung juga," dia menambahkan.
Saat ini, Tiko mengaku, yang merugi akibat pelemahan kurs rupiah adalah para importir yang harus membeli bahan baku dari luar negeri.
"Batu bara, kelapa sawit untung karena cost-nya rupiah, jual keluar (ekspor) dolar. Yang rugi adalah yang impornya pakai dolar AS, jualnya rupiah, itu yang masalah," tandasnya.
Â
Reporter :Â Yayu Agustini Rahayu Achmud
Sumber : Merdeka.com
Rupiah Terus Tertekan, Dekati Level 14.000 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah pada perdagangan Selasa pekan ini. Pelemahan rupiah ini lebih disebabkan faktor eksternal.
Mengutip Bloomberg, Selasa (24/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.921 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.975 per dolar AS.
Namun kemudian, rupiah kembali melemah hingga menyentuh level 13.976 per dolar AS. Posisi ini merupakan pelemahan terburuk sejak 2016. Jika dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah mencapai 2,37 persen.
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), pada hari ini rupiah dipatok di angka 13.900 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.894 per dolar AS.
Dolar AS memang terus perkasa di kawasan Asia termasuk terhadap rupiah. Penguatan dolar AS ini karena kenaikan imbal hasil surat utang AS berjangka waktu 10 tahun. Kenaikan imbal hasil ini menuju ke level psikologis, yaitu 3 persen.
Pada perdagangan kemarin, imbal hasil surat utang AS berada di angka 2,998 persen, yang merupakan level tertinggi dalam empat tahun ini. Kenaikan imbal hasil tersebut karena kekhawatiran peningkatan pasokan utang pemerintah AS dan tekanan inflasi dari kenaikan harga minyak.
Kepala perdagangan Asia Pasifik Oanda Singapura, Stephen Innes, mengatakan bahwa dolar AS mendapat tenaga yang besar dari imbal hasil surat utang AS.
"Semula pelaku pasar melihat bahwa kenaikan tidak akan besar, tetapi ternyata cukup tinggi akan kemungkinan berlangsung cukup lama," jelas dia.
Advertisement