Sukses

Pengajuan Tambahan Kuota Premium Tunggu Revisi Perpres

Setelah revisi Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 terbit, maka Premium di Jamali akan berstatus penugasan, sama seperti di wilayah lain.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) berencana mengajukan tambahan kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, setelah statusnya resmi berubah menjadi penugasan di Jawa, Madura dan Bali (Jamali).

Kepala BPH Migas Fanshurullah Assa mengatakan, untuk mengubah status Premium di Jamali menjadi penugasan, masih menunggu revisi Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 tentang penyaluran BBM.

Saat ini prosesnya masih dikaji oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. "Sudah di Pak Menko kok, lagi di review sama pak Darmin," kata Fanshurullah, di Jakarta, Rabu (25/4/2018).

Menurut Fanshurullah, setelah revisi Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 terbit, maka Premium di Jamali akan berstatus penugasan, sama seperti di wilayah lain.

Sehingga nantinya ada keharusan bagi PT Pertamina (Persero) memasok Premium di wiayah Jamali. Selanjutnya, penambahan kuota Premium akan dilakukan.

‎"Ya itu tergantung Perpresnya kayak apa, misalnya memang Jamali udah fix harus di pasok. Berarti akan nambah," jelas dia.

Dia mengungkapkan, usulan besaran volume tambahan ‎Premium akan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat, serta pengaruh perbedaan harga antara Premium dengan Pertalite.

"Tapi kan kita lihat juga, pertumbuhan ekonomi gimana, konsumsi masyarakat gimana. titik titik mana saja yang perlu ditambah. Belum lagi kan sekarang gap nya Pertalite sama Premium kan cukup tinggi tuh. Berapa? Rp 7.800 sama Rp 6.450 Rp 1.350 kan. Nah, ini musti diperhitungkan juga," dia menandaskan.

2 dari 2 halaman

Pengamat Minta Jangan Hapus Dulu Premium, Kenapa?

Pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan  termasuk menggencarkan penggunaan BBM yang memenuhi standar Euro 4, agar kualitas udara lebih sehat.

Sesuai amanat Peraturan Menteri (Permen) LHK No 20/Setjen/Kum.1/3/2017 pada 10 Maret 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, Indonesia seharusnya menerapkan standar emisi Euro 4 untuk kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi berbahan bakar bensin, mulai 10 Oktober 2018.

Pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi justru mengatakan, sebaiknya Premium jangan dulu dihapuskan. Sebab, penggunaan Premium oleh masyarakat masih tinggi.

Upaya untuk menarik Premium dari peredaran nampak dari munculnya Pertalite. Sayangnya, harga Pertalite yang tinggi justru menyebabkan perbedaan harga yang jauh antara Pertalite dan Premium. Ini kemudian membuat masyarakat kembali ke Premium.

"Dulu saya setuju Premium dihapus ada jangka waktu 2 tahun ada tahapan yang harus dilalui, termasuk membuat pertalite jadi sebagai bridging. Tapi kalau  Pertalite harganya naik, selisih cukup besar maka tujuan Pertalite sebagai bridging itu gagal. Karena gagal maka dia kembali lagi ke Premium," ujar dia ketika ditemui, di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).

"Dulu sudah cukup besar (masyarakat yang beralih) ke Pertalite, harga naik, mereka kembali. Dengan jumlah yang masih cukup besar, maka kalau kemudian (Premium) dihapus, yang terjadi adalah resistensi. Perlawanan yang menimbulkan keresahan sosial," lanjut dia.

Selain itu, dia mengatakan kilang milik Pertamina pun belum mampu menghasilkan bahan bakar minyak berstandar Euro 4. Jika demikian, penggunaan Euro 4 malah mengharuskan impor dinaikkan.

"Kalau tidak semua impor. Kalau begitu tidak ada artinya. Atas nama Euro 4, valuta asing kita habis, rupiah kita lemah, hanya semata-mata Euro 4. Saya rasa itu tidak benar juga," tegas dia.

"Kebutuhan jadi besar. Dengan dihapus Premium orang akan pindah, maka ini membengkak. Jadi sejauh mana Pertamina mampu menyediakan yang diolah dari kilangnya sendiri," tutur dia.

Â