Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara terkait pelemahan nilai tukar rupiah dalam dua pekan ini. Dia meminta para investor dan masyarakat tetap tenang karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk menahan gejolak kurs.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah pada Senin ini (30/4/2018) berada di posisi 13.877 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Urusan kurs ini hampir semua negara kena fenomena pasar global ‎yang semua negara juga mengalami. Semua negara juga sedang bergejolak," kata Jokowi usai acara Musrenbangnas RKP 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (30/4/2018).
Advertisement
Baca Juga
Jokowi memberi keyakinan kepada seluruh investor dan masyarakat bahwa fundamental ekonomi Indonesia dalam kondisi sehat dan baik. Ekonomi nasional tetap bertumbuh, inflasi terkendali sekitar 3,5 persen, ekspor membaik, dan defisit neraca perdagangan maupun transaksi berjalan semakin menyempit
‎"Artinya fundamental makro kita baik. Kurs ini karena kena dampak dari kebijakan-kebijakan, terutama kenaikan (kenaikan) suku bunga di Amerika Serikat," ujar mantan Wali Kota Solo ini.
Pemerintah, diakui Jokowi, tidak akan mengintervensi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. "Pemerintah tidak akan intervensi urusan moneter karena ini adalah nanti kebijakannya ada di BI," tegasnya.
Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mengadakan konferensi pers mengenai perkembangan ekonomi terkini di Kantor BI, sore ini.
"Nanti siang akan ada rapat KKSK. Gubernur BI dan Menteri Keuangan‎ (akan memaparkan perkembangan ekonomi terkini," pungkas Jokowi.
Tonton Video Ini:
Utang Bengkak Akibat Rupiah Anjlok, Ini Jurus Pemerintah Mengatasinya
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatatkan nilai utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp 34,6 triliun di April 2018. Tentunya pemerintah sudah memperhitungkan pelemahan nilai tukar rupiah dengan berbagai antisipasi untuk mengurangi risiko gejolak kurs terhadap utang pemerintah.
Dari data DJPPR yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Senin (30/4/2018), utang jatuh tempo April 2018 sebesar Rp 34,6 triliun, terdiri dalam bentuk valuta asing (valas) senilai Rp 7,3 triliun dan rupiah Rp 27,3 triliun. Sepanjang Januari-Maret ini, pemerintah sudah membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 188 triliun, yakni valas senilai Rp 37 triliun dan rupiah Rp 15,1 triliun.
Baca Juga
Total utang jatuh tempo pemerintah pada tahun ini tercatat sebesar Rp 384 triliun, terdiri dari Rp 111 triliun dalam bentuk valas dan Rp 272 triliun dalam bentuk rupiah. Dengan pelemahan kurs rupiah yang hampir menyentuh 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS), DJPPR Kemenkeu mengakui terjadi pembengkakan utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 10,9 triliun. Sehingga total outstanding utang pemerintah menjadi Rp 4.147,29 triliun saat ini.
Menurut DJPPR Kemenkeu, dampak dari risiko kurs akan terlihat dari pembayaran kewajiban utang di 2018. Total outstanding utang valas pemerintah per akhir Maret 2018 sebesar US$ 109,6 miliar, lebih dari separuhnya merupakan pinjaman dengan bunga relatif murah.
Pemerintah selalu memantau pergerakan kurs rupiah terhadap mata uang asing, serta mengambil langkah untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko kurs yang terekspos terhadap utang pemerintah. Upaya pemerintah mengurangi risiko kurs pada utang adalah dengan melakukan lindung nilai alami (natural hedging). Caranya dengan membayar beban utang valas menggunakan penerimaan negara dalam valas. Pemerintah juga mempersiapkan instrumen lindung nilai guna mengelola risiko kurs tersebut.
"Pemerintah kan punya penerimaan dari valas. Kalau ada penerimaan valas US$ 500 juta, secara pengelolaan kas pemerintah bisa dipakai untuk bayar utang US$ 500 juta. Ini yang namanya natural hedging, sehingga rugi kurs (pelemahan rupiah) bisa dikelola," kata Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan DJPPR Kemenkeu, Erwin Ginting, saat dihubungi Liputan6.com.
Portofolio utang pemerintah juga terdiversifikasi atas berbagai mata uang. Dengan demikian, pelemahan rupiah terhadap dolar AS di satu sisi akan diikuti dengan penguatan mata uang lain sehingga efeknya ke utang pemerintah bisa diminimalkan.
Di samping itu, dampak pembengkakan jumlah utang akibat tekanan kurs rupiah, tidak serta-merta dibayarkan saat ini, tapi akan menyebar pada beberapa tahun ke depan.
"Mungkin saja kurs di masa depan akan menguat dan nilai utang juga tergerus inflasi, sehingga berpotensi menurunkan beban utang pemerintah," kata sumber DJPPR Kemenkeu.
Â
Advertisement