Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memusnahkan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) sebanyak 7,7 miliar bilyet atau senilai Rp 254,1 triliun pada 2017. Pemusnahan UTLE ini lebih tinggi dibandingkan 2016, yakni 6,9 miliar bilyet untuk uang kertas dengan nilai nominal Rp 210,5 triliun.
Berdasarkan data dalam Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2017 Bank Indonesia, tercatat pula BI memusnahkan uang logam tidak layak edar pada 2017 sebanyak 90 juta keping atau senilai Rp 29,1 miliar, setelah pada 2016 tidak terdapat pemusnahan uang logam.
Advertisement
Baca Juga
"Peningkatan jumlah pemusnahan tersebut dipengaruhi oleh semakin tingginya jumlah pengolahan uang seiring bertambahnya jumlah inflow ke BI," tulis laporan tersebut yang dikutip Liputan6.com, Jumat (4/5/2018).
Selain itu, reformasi distribusi uang dan layanan kas juga mempercepat BI menerima uang tidak layar edar atau uang rusak ini sehingga bisa diganti dengan uang yang layak.
Sementara itu, untuk penemuan uang palsu pada 2017, BI mencatat terjadi penurunan dibandingkan 2016. Sepanjang 2017, ditemukan uang palsu sebanyak 164.903 lembar. Adapun pada 2016, BI menemukan uang palsu sebanyak 211.661 lembar.
Uang palsu yang paling banyak ditemukan merupakan uang kertas pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu, masing-masing sebanyak 80.680 lembar atau sekitar 48,9 persen dan 77.002 lembar atau sebesar 46,7 persen.
"Dengan perkembangan tersebut, rasio uang palsu turun dari 13 lembar menjadi sembilan lembar per 1 juta lembar uang yang diedarkan. Hal itu sejalan dengan berbagai berbagai upaya yang dilakukan BI dalam mencegah dan menanggulangi peredaran uang palsu," demikian disebutkan dalam laporan itu.
Uang Beredar di RI Capai Rp 5.394 Triliun
Bank Indonesia (BI) mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) di Indonesia mencapai Rp 5.394,9 triliun untuk periode Maret 2018. Angka ini tumbuh 7,5 persen dibandingkan periode Februari yang tumbuh 8,3 persen.
Dikutip dari laporan Bank Indonesia, Senin (30/4/2018), perlambatan pertumbuhan uang beredar terjadi pada seluruh komponen uang beredar. Komponen uang kuasai tercatat tumbuh 6,2 persen (year on year/yoy), melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 6,7 persen (yoy).
Sedangkan untuk komponen uang beredar dalam arti sempit tercatat tumbuh 11,9 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 13 persen.
"Komponen lainnya berupa surat berharga selain saham juga tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan," tulis laporan Bank Indonesia tersebut.
Berdasarkan faktor yang memengaruhi, perlambatan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas dipengaruhi oleh operasi keuangan pemerintah dan aktiva luar negeri bersih.
Pertumbuhan tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) tercatat 5,9 persen (yoy) pada Maret 2018, turun dari 10,1 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.
Periode laporan pajak dan penerimaan dari penerbitan sukuk global turut memengaruhi pertumbuhan. Untuk aktiva luar negeri bersih pada Maret 2018 tumbuh 9,3 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 13,6 persen (yoy).
Namun, perlambatan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas tertahan oleh penyaluran kredit perbankan pada Maret 2018 yang tumbuh sebesar 8,5 persen (yoy) atau tercatat Rp 4.768,8 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Februari 2018 yang tumbuh 8,2 persen (yoy).
Suku bunga kredit dan simpanan berjangka kembali turun sejalan dengan berlanjutnya transmisi penurunan suku bunga kebijakan Bank Indonesia.
Pada Maret 2018, rata-rata tertimbang suku bunga kredit perbankan tercatat 11,18 persen atau turun 9 basis poin dari bulan sebelumnya.
Suku bunga simpanan berjangka dengan tenor 3 bulan tercatat 5,88 persen lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 5,97 persen. Kemudian untuk bunga simpanan jangka waktu 6 bulan sebesar 6,29 persen lebih rendah dibanding periode sebelumnya 6,4 persen.
Untuk bunga simpanan 12 bulan 6,46 persen turun dibanding periode Februari 2018 6,56 persen.
Advertisement